Selasa, 17 Maret 2009

Kewenangan Bidang Pertanahan Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah


Dipublikasikan pada 31 Oktober 2006 - 12:24pm | Artikel

Latar Belakang
Republik
Indonesia sebagai negara kesatuan menempatkan tanah pada kedudukan yang penting. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang dijajah selama 350 tahun oleh kolonial Belanda, menunjukkan indikasi bahwa tanah sebagai milik bangsa Indonesia telah diatur oleh bangsa lain dengan sikap dan niat yang asing bagi kita. Tanah sebagai berkah Illahi telah menjadi sumber keresahan dan penindasan. Rakyat ditindas melalui politik dan hukum pertanahan yang tidak berkeadilan, demi kemakmuran bangsa lain.

Oleh karena itu, setelah kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945,maka bangsa Indonesia mengatur sendiri tanah yang telah kita kuasai dan miliki. Akantetapi mengatur tanah yang telah dikuasai dan dimilikinya sendiri itu tidaklah mudah, walaupun telah tegas dinyatakan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3) yang merupakan landasan ideal hukum agraria Nasional yang menetapkan bahwa : “Bumi, Air, dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Atas landasan ideal ini, sesuai dengan falsafah Pancasila, bangsa Indonesia memandang tanah sebagai karunia Tuhan yang mempunyai sifat magis-religius harus dipergunakan sesuai dengan fungsinya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan dan tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat spekulasi orang atau masyarakat, karena kemerdekaan Indonesia bukanlah hasil perjuangan perorangan atau golongan melainkan perjuangan seluruh rakyat dan bangsa Indonesia.
Tanah mempunyai makna yang sangat strategis karena di dalamnya terkandung tidak saja aspek fisik akan tetapi juga aspek sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik serta pertahanan-keamanan dan aspek hukum. Secara teoritis sumber daya tanah memiliki 6 (enam) jenis nilai, yaitu: (1) nilai produksi, (2) nilai lokasi, (3) nilai lingkungan, (4) nilai sosial, dan (5) nilai politik serta (6) nilai hukum. Sumber daya tanah mempunyai nilai sempurna apabila formasi nilai tanah mencakup ke-enam jenis nilai tersebut.
ketidaksempurnaan nilai tanah akan mendorong mekanisme pengalokasian tanah secara tidak adil dan tidak merata. Golongan masyarakat yang mempunyai dan menguasai akses yang tinggi cenderung untuk memanfaatkan ketidaksempurnaan tersebut untuk kepentingannya semata. Untuk itu peranan pemerintah di dalam mengelola sumber daya tanah sangat diperlukan, peranan tersebut seharusnya tidak hanya terbatas pada upaya untuk menyempurnakan mekanisme yang dapat mengalokasikan sumber daya tanah, tetapi juga memerlukan suatu kelembagaan untuk mengemban fungsi di atas, agar tanah dapat dimanfaatkan secara lebih sejahtera, adil dan merata.
Yang dimaksud pengelolaan tanah disini adalah suatu proses pembuatan dan
pelaksanaan keputusan bagaimana tanah dan sumber dayanya didistribusikan,
digunakan dan dilindungi dalam masyarakat. Proses pengelolaan tanah dapat dilihat dari bermacam-macam perspektif, yang terutama dari sudut pandang ekonomi dan Page 2 of 4 lingkungan. Dari sudut pandang lingkungan pengelolaan tanah jangan sampai merusak kondisi kemampuan tanahnya serta kelestarian lingkungan, sedangkan dari sudut pandang ekonomi pengelolaan tanah adalah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat melalui penggunaan dan pemanfaatan tanah serta sumber dayanya.
Pengelolaan tanah di
Indonesia mempunyai landasan konstitusional yang merupakan arah dan kebijakan pengelolaan tanah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Bumi, air dan ruang angkasa yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau dikenal juga sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang memuat kebijakan pertanahan nasional (National Land Policy) yang menjadi dasar pengelolaan tanah di Indonesia.
Dalam penyelenggaraan pengelolaan tanah khususnya yang berkaitan dengan
pengelolaan penguasaan dan hak-Hak Atas Tanah (Land tenure and land rights)
diperlukan lembaga pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian hukum antara pemegang hak dengan tanah, peralihan hak tanah, hak tanggungan atas tanah, peralihan hak tanggungan. Selain itu pendaftaran tanah merupakan sumber informasi untuk membuat keputusan dalam pengelolaan pertanahan baik dalam penataan penguasaaan, pemlikan, penggunaaan dan pemanfaatan tanah.
Sampai saat ini UUPA masih merupakan landasan hukum untuk menyelenggarakan pengelolaan pertanahan di
Indonesia. Perubahan penyelenggaraan pengelolaan pertanahan tanpa melakukan perubahan kebijakan nasional pertanahan akan mengandung implikasi hukum yang dapat menyebabkan cacatnya produk hukum yang berkaitan dengan Hak Atas Tanah dan pendaftarannya.
Kewenangan Bidang Pertanahan Dengan berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan, yaitu dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional. Sejalan dengan perubahan sistem pemerintahan tersebut, maka diperlukan adanya pembagian kewenangan yang jelas antara Pemerintah, Daerah

Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota (Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999).

Berpijak dari pengelolaan tanah dan sumber dayanya yang diatur dalam UUPA, maka
pembagian kewenangan bidang pertanahan diusulkan sebagai berikut:
1. Pemerintah
Kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan sebagaimana yang telah diamanatkan
dalam Undang-Undang dimaksud meliputi urusan-urusan yang tercantum dalam
Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan Pasal 14 ayat (1) serta Pasal 19 ayat (1),
ayat (2), ayat (3) yang meliputi:
a. Penyelenggaraan Pengaturan Penguasaan dan Pemilikan Tanah;
b. Penyelenggaraan Penatagunaan Tanah Nasional;
c. Penyelenggaraan Pengaturan dan Pemberian Hak-hak Atas Tanah;
Page 3 of 4
d. Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah;
e. Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat.
2. Pemerintah Daerah Propinsi
Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom meliputi:
a. Perencanaan Penatagunaan Tanah Propinsi;
b. Perencanaan Penatagunaan Tanah yang meliputi 2 (dua) Kabupaten/Kota atau
lebih;
c. Perencanaan Penatagunaan Tanah daerah Kabupaten/Kota yang mempunyai
pengaruh terhadap Kabupaten/Kota disekelilingnya;
d. Penyelesaian dan Penetapan Hak Ulayat yang meliputi 2 (dua) Kabupaten/Kota
atau lebih.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Kewenangan daerah Kabupaten/Kota, meliputi:
a. Izin Lokasi, Pengaturan Persediaan dan Peruntukan Tanah;
b. Penyelesaian masalah sengketa tanah garapan di atas tanah negara;
c. Penguasaan pendudukan tanah tanpa ijin dari pihak yang berwenang oleh pihak
yang tidak berhak/kuasanya;
d. Penyelesaian ganti rugi dan santunan dalam pengadaan tanah;
e. Penyelesaian dan penetapan hak ulayat masyarakat hukum adat;
f. Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
g. Penyelesaian dan pemanfaatan sementara tanah kosong;
h. Pengaturan tanah reklamasi dan tanah timbul;
i. Rekomendasi obyek, subyek, redistribusi tanah obyek landreform;
j. Penetapan penyelenggaraan bagi hasil (tanah pertanian);
k. Penetapan harga dasar tanah;
l. Penetapan kawasan siap bangun (Kasiba).
4. Kewenangan Di Bidang Pertanahan untuk Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota
Kewenangan di bidang Pertanahan untuk Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
didasarkan kepada beberapa alasan antara lain:
a. Prof. Bhenyamin Hoesein, dalam “Diskusi Terfokus Pengembangan Kebijakan
Pertanahan Dalam Era Desentralisasi dan Peningkatan Pertanahan Kepada
Masyarakat” yang diselenggarakan oleh Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
BAPPENAS tanggal 12 September 2002 menyatakan bahwa: Dalam Pasal 1 butir
e dan a UU No. 22 Tahun 1999 desentralisasi sebagai penyerahan wewenang
pemerintah oleh Pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka NKRI,
mengandung dua makna yang signifikan antara lain:

PP No 26 Tentang PEMAKAIAN NAMA PERSEROAN TERBATAS





PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 1998
TENTANG
PEMAKAIAN NAMA PERSEROAN TERBATAS
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa nama Perseroan Terbatas merupakan jati diri dari suatu badan hukum dan sangat penting artinya dalam
lalu lintas perdagangan;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas ketentuan lebih lanjut mengenai pemakaian nama perseroan sebagai nama diri perlu diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu ditetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pemakaian Nama Perseroan Terbatas;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 13,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMAKAIAN NAMA PERSEROAN TERBATAS.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Nama Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut nama perseroan adalah nama diri perseroan yang
bersangkutan.
2. Menteri adalah Menteri Kehakiman.
Pasal 2
(1) Perkataan Perseroan Terbatas atau disingkat “PT” hanya dapat digunakan oleh badan usaha yang didirikan
sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
(2) Perkataan Perseroan Terbatas atau disingkat “PT” sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diletakkan di depan
nama perseroan.
Pasal 3
(1) Pemakaian nama perseroan diajukan kepada Menteri dengan suatu permohonan guna mendapat persetujuan.
(2) Permohonan persetujuan pemakaian nama perseroan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diajukan
bersamaan atau lebih dahulu secara terpisah dari permohonan pengesahan Akta Pendirian atau permohonan
persetujuan akta perubahan Anggaran Dasar.
(3) Permohonan pemakaian nama perseroan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh pendiri perseroan,
direksi perseroan, atau kuasanya.
Pasal 4
(1) Persetujuan pemakaian nama perseroan yang diajukan lebih dahulu secara terpisah dari permohonan pengesahan
Akta Pendirian atau permohonan persetujuan akta perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 diberikan dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari setelah permohonan diterima.
(2) Dalam hal permohonan persetujuan pemakaian nama perseroan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditolak,
maka penolakan tersebut harus diberitahukan kepada pemohon secara tertulis beserta alasannya dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Dalam hal permohonan persetujuan pemakaian nama perseroan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disetujui,
maka pemohon wajib mengajukan permohonan pengesahan Akta Pendirian atau permohonan persetujuan akta
perubahan Anggaran Dasar perseroan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
persetujuan pemakaian nama.
(4) Dalam hal permohonan pengesahan Akta Pendirian atau permohonan persetujuan akta perubahan Anggaran
Dasar tidak diajukan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) maka persetujuan pemakaian
nama yang diberikan menjadi batal.
Pasal 5
(1) Permohonan persetujuan pemakaian nama kepada Menteri ditolak apabila nama tersebut:
a. telah dipakai secara sah oleh perseroan lain atau mirip dengan nama perseroan lain;
b. bertentangan dengan ketertiban umum dan atau kesusilaan.
(2) Disamping alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) permohonan persetujuan pemakaian nama perseroan
yang diajukan kepada Menteri juga ditolak, apabila nama tersebut:
a. sama atau mirip dengan nama perseroan yang permohonan persetujuan pemakaiannya telah diterima lebih
dahulu;
b. sama atau mirip dengan merek terkenal sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992
tentang Merek berikut perubahannya, kecuali ada izin dari pemilik merek terkenal tersebut;
c. dapat memberikan kesan adanya kaitan antara perseroan dengan suatu lembaga pemerintah, lembaga yang
dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan, atau lembaga internasional, kecuali ada izin dari yang
bersangkutan;
d. hanya terdiri dari angka atau rangkaian angka;
e. hanya terdiri dari huruf atau rangkaian huruf yang tidak membentuk kata;
f. menunjukkan maksud dan tujuan perseroan, kecuali ada tambahan lain; atau
g. tidak sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan;
h. hanya merupakan nama suatu tempat;
i. ditambah kata dan atau singkatan kata yang mempunyai arti sebagai perseroan terbatas, badan hukum atau
persekutuan perdata.
Pasal 6
Perseroan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Warga Negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia
mengutamakan pemakaian nama perseroan dalam bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang
baik dan benar.
Pasal 7
(1) Nama perseroan yang telah memperoleh persetujuan Menteri dicatat dalam daftar nama perseroan.
(2) Menteri menyelenggarakan daftar nama perseroan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
Nama perseroan yang Anggaran Dasarnya belum disesuaikan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal 7 Maret 1998, dapat
dipakai oleh pihak lain.
Pasal 9
(1) Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, kata atau singkatan kata yang mempunyai arti sebagai perseroan
terbatas, badan hukum atau persekutuan perdata yang ditambahkan dalam nama perseroan dianggap telah
dihapus dan tidak boleh digunakan dalam kegiatan perseroan.
(2) Perseroan yang memakai nama yang mengandung kata atau singkatan kata sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib menyesuaikan nama perseroan tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 11
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di JAKARTA
Pada tanggal 24 PEBRUARI 1998
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di JAKARTA
Pada tanggal 24 PEBRUARI 1998
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 39
P E N J E L A S A N
A T A S
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 1998
TENTANG
PEMAKAIAN NAMA PERSEROAN TERBATAS
U M U M
Salah satu unsur yang mempunyai peranan penting dalam upaya mencapai tujuan pembangunan nasional yang
tertumpu pada trilogi Pembangunan Nasional adalah Perseroan Terbatas.
Dalam perkembangannya, Perseroan Terbatas sebagai salah satu bentuk usaha perekonomian nasional di samping
bentuk-bentuk usaha lainnya mempunyai peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Perseroan Terbatas dalam kiprahnya sebagai salah satu bentuk usaha yang berbadan hukum memerlukan suatu nama
sebagai jati dirinya.
Secara hukum, pemakaian nama perseroan tersebut tidak boleh merugikan sesama pengusaha di bidang usaha dan
perdagangan dan menimbulkan adanya persaingan tidak sehat.
Dalam hal ini pemakaian nama Perseroan Terbatas harus memperhatikan ketentuan tentang merek terkenal
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek berikut perubahannya. Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah pihak-pihak yang beritikad buruk yang dengan jalan pintas ingin memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya dengan menggunakan merek terkenal sebagai nama usahanya, tanpa seizin
pemilik merek terkenal yang bersangkutan.
Pada hakekatnya, pengaturan pemakaian nama perseroan dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum kepada
pemakai nama perseroan yang beritikad baik yang sudah memakai nama tersebut sebagai nama perseroan dan secara
resmi telah dicantumkan di dalam akta pendirian yang telah disahkan oleh Menteri Kehakiman atau kepada pihak
yang telah lebih dahulu mengajukan permo honan persetujuan pemakaian nama tersebut kepada Menteri Kehakiman.
Untuk mempertegas kepastian perlindungan bagi pemakai nama perseroan, maka setiap pemakaian nama Perseroan
Terbatas harus mendapat persetujuan Menteri dan nama Perseroan Terbatas itu sendiri hanya boleh dipakai oleh
badan usaha yang didirikan dengan tujuan untuk membentuk badan hukum Perseroan Terbatas.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam Peraturan Pemerintah ini pada dasarnya mengatur tata cara pengajuan
permohonan persetujuan pemakaian nama perseroan, pedoman penolakan permohonan persetujuan pemakaian nama
perseroan, serta penyelenggaraan daftar nama perseroan untuk memudahkan pengecekan pemakaian nama perseroan,
berikut jangka waktu penyesuaian terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah ini untuk pemakaian nama bagi
perseroan yang telah ada.
Sedangkan hal yang berkaitan dengan teknis pelaksanaan ketentuan Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh
Menteri Kehakiman.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa penggunaan perkataan Perseroan Terbatas atau PT hanya
untuk badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Dengan ketentuan dalam Pasal ini maka perseroan dalam kegiatan usahanya wajib memakai nama yang telah disetujui
pemakaiannya oleh Menteri.
Ayat (2)
Pada prinsipnya permohonan persetujuan pemakaian nama perseroan diajukan bersamaan dengan permohonan
pengesahan Akta Pendirian atau permohonan persetujuan akta perubahan Anggaran Dasar. Namun demikian untuk
memungkinkan perseroan memperoleh hak memakai suatu nama terlebih dahulu dari perseroan lainnya dan atau agar
lebih cepat mendapat kepastian untuk dapat menggunakan nama tersebut, maka permohonan tersebut dapat diajukan
terlebih dahulu secara terpisah.
Ayat (3)
Permohonan persetujuan pemakaian nama perseroan dapat diajukan secara langsung, melalui pos atau melalui media
lainnya. Yang dimaksud dengan “media lainnya” adalah media elektronik seperti fax, faksimili, e-mail.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk dalam pengertian mirip adalah kemiripan dalam tulisan, arti atau cara pengucapan misalnya PT
BHAYANGKARA dengan PT BAYANGKARA, PT SEMPURNA dengan PT SAMPOERNA, PT BUMI PERTIWI
dengan PT BUMI PRATIWI.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Lihat penjelasan ayat (1) huruf a.
Huruf b
Ketentuan ini dapat dilakukan sepanjang daftar merek terkenal tersebut telah dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang menyusun daftar tersebut.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan “hanya terdiri dari angka atau rangkaian angka” misalnya PT3, PT 99.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “hanya terdiri dari huruf atau rangkaian huruf” misalnya PT S, PT A, PT ABC.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “menunjukkan maksud dan tujuan perseroan” saja misalnya PT Impor Ekspor.
Huruf g
Yang dimaksud “tidak sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan”, misalnya PT Andalan
Fluid Sistem yang bergerak di bidang pemborongan umum, PT percetakan.
Huruf h
Dirgantara Teknik yang kegiatan usahanya dibidang
Yang dimaksud dengan “tempat” antara lain daerah, wilayah, negara. Yang dimaksud dengan nama suatu tempat saja
misalnya PT Jakarta, PT Indonesia, PT Singapura.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “kata atau singkatan yang mempunyai arti yang sama dengan arti kata perseroan terbatas,
badan hukum lainnya atau persekutuan perdata” misalnya: Usaha Dagang (UD), Koperasi Usaha Dagang (KUD),
Incorporated, Associate, Association, SA, SARL, AG, Ltd, Gmbh, SDN, Sdn. Bhd, PTE, Co., & Co., Inc., NV, atau BV.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dengan ketentuan ini maka dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini
perseroan wajib melakukan penyesuaian nama. Dalam hal ini, penyesuaian dapat dilakukan antara lain pada saat:
a. Perseroan menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa pertama kalinya sejak berlakunya
Peraturan Pemerintah ini; atau
b. Perseroan menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham untuk mengubah Anggaran Dasar.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3740

Senin, 16 Maret 2009

Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia dengan Akta di Bawah Tangan





Oleh: Grace P. Nugroho, SH*)

Sumber : Hukumonlne.com

Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan.

Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.



Lalu, bagaimana dengan perjanjian fidusia yang tidak di buatkan akta notaris dan didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia alias dibuat dibawah tangan? Pengertian akta di bawah tangan adalah sebuah akta yang dibuat antara pihak-pihak dimana pembuatanya tidak di hadapan pejabat pembuat akta yang sah yang ditetapkan oleh undang-undang (notaris, PPAT dll).



Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Untuk akta yang dilakukan di bawah tangan biasanya harus diotentikan ulang oleh para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah, misalnya di pengadilan. Pertanyaannya adalah apakah sah dan memiliki kekuatan bukti hukum suatu akta di bawah tangan? Menurut pendapat penulis, sah-sah saja digunakan asalkan para pihak mengakui keberadaan dan isi akta tersebut. Dalam prakteknya, di kampung atau karena kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum dikuatkan lewat akta di bawah tangan seperti dalam proses jual beli dan utang piutang. Namun, agar akta tersebut kuat, tetap harus dilegalisir para pihak kepada pejabat yang berwenang.



Saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia. Prakteknya lembaga pembiayaan menyediakan barang bergerak yang diminta konsumen (semisal motor atau mesin industri) kemudian diatasnamakan konsumen sebagai debitur (penerima kredit/pinjaman). Konsekuensinya debitur menyerahkan kepada kreditur (pemberi kredit) secara fidusia. Artinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia kepada kreditur yang dalam posisi sebagai penerima fidusia. Praktek sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur/pihak yang punya barang mengajukan pembiayaan kepada kreditor, lalu kedua belah sama-sama sepakat mengunakan jaminan fidusia terhadap benda milik debitor dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia, dan salinannya diberikan kepada debitur. Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.



Fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan.



Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat surat penetapan permohonan bantuan pengamanan eksekusi. Bantuan pengamanan eksekusi ini bisa ditujukan kepada aparat kepolisian, pamong praja dan pamong desa/kelurahan dimana benda objek jaminan fidusia berada. Dengan demikian bahwa pembuatan sertifikat jaminan fidusia melindungi penerima fidusia jika pemberi fidusia gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kedua belah pihak.



Akibat Hukum

Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditor bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari kreditor. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitor dan sebagian milik kreditor. Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dapat digugat ganti kerugian.



Dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Pasal ini menyebutkan:

1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
2. Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.



Situasi ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia. Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor.



Bahkan apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia, karena tidak syah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat. Mungkin saja debitor yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai



Pasal 372 KUHPidana menandaskan: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.



Oleh kreditor, tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditor dan debitor, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukan porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak. Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk rugi waktu dan pemikiran.



Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal. Poblem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan customer service yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat perkembangan zaman. Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat di hadapan notaris sementara lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi fidusia di lapangan dalam waktu yang relatif cepat.



Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah terhadap kreditor sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah. Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.



Penulis juga mengkhawatirkan adanya dugaan pengemplangan pendapatan negara non pajak sesuai UU No. 20 Tahun 1997 Tentang Pendapatan Negara Non Pajak, karena jutaan pembiayaan (konsumsi, manufaktur dan industri) dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan dan mempunyai potensi besar merugikan keuangan pendapatan negara.



Proses Eksekusi

Bahwa asas perjanjian “pacta sun servanda” yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang prosedural hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang dikandungnya.



Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak menggunakan semua upaya hukum yang tersedia. Biaya yang musti dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak. Masyarakat yang umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum adalah penting.



*) Penulis adalah advokat pada Kantor Bantuan Hukum (KBH) Lampung dan Achmad Imam Ghozali, SH and Partner (Law Firm), yang beralamat di Jln. Anggrek No. 19 Rawa Laut. Bandar Lampung. Telp. (0721) 256801, hp. 0812 7200 395 e-mail. nugroho-saja@telkom.net, purwonugroho@plasa.com

( Sumber Internet)

Selasa, 10 Maret 2009

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PERIKANAN


Oleh: Rusmana,SH

Di Indonesia prinsip

pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) tidak diatur dalamhukum pidana umum (KUHP), melainkan tersebar dalam hukum pidana khusus. Tidakdikenalnya prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam KUHP ini dikarenakan subjek tindak pidanayang dikenal dalam KUHP adalah orang dalamkonotasi biologis yang alami (natuurlijke persoon). Di samping itu, KUHPjuga masih menganut asas sociatesdelinquere non potest dimana badan hukum dianggap tidak dapat melakukantindak pidana. Dengan demikian, pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum (rechspersoonlijkheid)tidak berlaku dalam bidang hukumpidana.

Prinsip pertanggungjawabankorporasi pertama kali diatur pada tahun 1951 yaitu dalam UU tentang PenimbunanBarang, dan dikenal secara lebih luas lagi dalam UU No. 71 Drt Tahun 1955tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam perkembangannya kemudian, prinsippertanggungjawaban korporasi banyak diadopsi dalam peraturan perundang-undangan,seperti: UU 5/1984 tentang Perindustrian, UU 8/1985 tentang Pasar Modal, UU5/1997 tentang Psikotropika, UU 22/1997 tentang Narkotika, UU 23/1997 tentangPengelolaan Lingkungan Hidup, UU 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli danPersaingan Usaha Tidak Sehat, UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU 22/2001 tentang Minyakdan Gas Bumi, UU 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucuian Uang, dan UU 20/2002tentang Ketenagalistrikan.

Dalam literatur hukum pidana,penerapan prinsip pertanggungjawaban korporasi ini telah mengalami perkembanganyang demikian pesat sejalan dengan meningkatnya kejahatan korporasi itu sendiri. Pada awalnya korporasi belum diakui sebagai pelaku dari suatu tindak pidana, karenanya tanggungjawab atas tindak pidana dibebankan kepada pengurus korporasi. Selanjutnya korporasi mulai diakui sebagai pelaku tindak pidana, sementara tanggung jawab atas tindak pidana masih dibebankan kepada pengurusnya, seperti dianut dalam UU No. 12/Drt/1952 tentang Senjata Api. Dalam perkembangan terakhir, selain sebagi pelaku, korporasi juga dapat dituntut pertanggungjawabannya atas suatu tindak pidana. Peraturan perundang-undangan yang menganut model ini diantaranya UU No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU 6/1984tentang Pos, UU 23/1997 tentang Lingkungan Hidup, UU 31/1999 jo UU 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dll.

Verdana"; color: black;">Tindak pidana korporasi bidang perikanan

Selama ini prinsip pertanggung jawaban korporasi tidak begitu populer dalam penanganan kasus-kasus tindak pidana perikanan Meski UU 9/1985 tentang Perikanan mengakui adanya “Badan Hukum” (di samping orangperorangan) sebagai subjek hukum dalam tindak pidana perikanan, namun UUtersebut tidak mengatur lebih lanjut kapan suatu badan hukum dikatakan melakukan tindak pidana, dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana tersebut. Akibatnya penanganan kasus-kasus tindak pidana perikanan sulit “dituntaskan”, khususnya yang melibatkan pihak korporasi. Pada banyak kasus, mereka yang diseret kepengadilan hanya pelaku di lapangan seperti nakhoda kapal, kepala kamar mesin (KKM), dan anak buah kapal (ABK), sedangkan pihak-pihak yang berada di belakang mereka (korporasi) nyaris tidak pernahtersentuh.

Titik terang dari persoalan tersebut sebenarnya mulai tampak, ketika diaturnya prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam UU 31/2004 tentang Perikanan, dimana yang dapat dituntut atas suatu tindak pidana perikanan tidak saja mereka yang merupakan pelaku langsung di lapangan tetapi juga pihak korporasi yang berada di belakang mereka. Sayangnya rumusan prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam UU tersebut justru mengalami kemunduran. Dalam Pasal 101 UU 31/2004 disebutkan bahwa: ”dalam hal tindak pidana perikanan dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, dan pidanadendanya ditambah sepertiga dari pidana yang dijatuhkan Dengan rumusan demikian, meskipun korporasi diakui sebagai pelaku suatu tindak pidana, akan tetapi korporasi itu sendiri tidak dapat dimintakan poertanggung jawaban pidana. Pengaturan demikian akan menimbulkan banyak kelemahan. Logikanya, untuk kasus-kasus tertentu dimana keuntungan yang diperoleh perusahaan sedemikian besar dan/atau kerugian yang ditanggung masyarakat sedemikian besar, maka pengenaan pidana penjara/denda “hanya” kepada pihak pengurus korporasi akan menjadi tidak sebanding. Disamping itu, pengenaan pidana kepada pengurus korporasi juga tidak cukup memberikan jaminan bahwa korporasi tersebut tidak melakukan tindakan serupa di kemudian hari. Dalam kenyataannya, pihak korporasi juga tidak sedikit yang berlindung di balik korposari-korporasi boneka dummy company) yang sengaja mereka bangun untuk melindungi korporasi induknya.

Tantangan

Lantas bagaimana prospek penerapan prinsip pertanggungjawaban korporasi ini ke depan, khususnya dalam penanganan tindak pidana perikanan? Tampaknya masih cukup banyak tantangan yang akan dihadapi.

Kelemahan-kelemahan hukum seperti diuraikan diatas, harus diimbangi dengan upaya peningkatan kualitas dan kemampuan para penegak hukum yang akan menerapkannya. Mereka harus mampu dan kreatif untuk melakukan terobosan-terobosan hukum, sehingga persoalan-persoalan tersebut tidak menjadi batu sandungan di lapangan. Demikian pula mentalitas dan keberanian para penegak hukum akan memegang peran penting, khususnya ketika mereka tidak lagi hanya akan dihadapan dengan pelaku tindak pidana kelas ”teri” (pelaku lapangan), tetapi juga dengan pelaku tindak pidana kelas ”kakap” yang nota bene memiliki kapasitas – baik duit maupun pengaruh – yang jauh lebih besar.

( Sumber Internet)

PERAN BEBERAPA STATE AUXILIARY AGENCIES DALAM MENDUKUNG REFORMASI HUKUM DI INDONESIA

0leh Sudi Prayitno, S.H., LL.M.[1]
A. PENDAHULUAN
Tanpa terasa, perjalanan reformasi telah melampaui kurun waktu lima tahun sejak era ini digulirkan pada bulan Mei 1998. Meskipun banyak kalangan menilai masih belum terlihat adanya perubahan yang signifikan, kehadiran komisi-komisi pembantu negara (state auxiliary agencies) sebagai salah satu implikasi era reformasi, memberi gambaran bahwa angin perubahan sepertinya sedang membawa bangsa ini ke arah the real change. Setidaknya, lahirnya beberapa state auxiliary agencies seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Penyiaran Independen (KPI), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS Anak) menunjukkan adanya sesuatu yang baru dalam praktek ketatanegaraan Republik Indonesia.
Bila dicermati Iebih jauh, ada beragam alasan yang melatarbelakangi Iahirnya komisi-komisi ini. Pembentukan KPK melalui UU No. 30/2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi misalnya, disebabkan karena lembaga pemerintah yang ada balk kejaksaan maupun kepolisian belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam menangani korupsi.[2] Sementara Komnas HAM, sekalipun UU No. 39/1999 Tentang HAM dan UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM tidak memberi gambaran secara jelas alasan pembentukan komisi ini, namun dari beberapa pasal yang terkandung di dalam kedua undang-undang tersebut dapat disimpulkan bahwa pembentukan Komnas HAM di!atarbelakangi oleh tiga hat, yaitu belum maksimalnya upaya pemulihan atas kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat dari pelanggaran HAM berat yang tergolong extra ordinary crime belum berkembangnya kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM dan masih lemahnya perlindungan dan penegakkan HAM di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa lahirnya berbagai macam komisi pembantu negara tersebut Iebih disebabkan oleh tingginya pub/ic distrust terhadap lembagalembaga negara yang ada karena dianggap belum berfungsi secara maksimal khususnya dalam mendukung agenda perubahan di bidang hukum.
Keberadaan lembaga-lembaga ini belakangan menjadi populer ketika banyak kalangan mulai mempertanyakan efektifitasnya khususnya dalam mendukung reformasi hukum. Sebagian kalangan memandang perlunya mengaudit komisi-komisi tersebut dan meniadakan komisi-komisi yang tidak efektif. Beberapa komisi yang sering menjadi sorotan terkait masalah efektifitas antara lain : KPK, Komnas HAM, KON, dan KHN. Dalam kaitannya dengan upaya melakukan reformasi terhadap sistem hukum, tulisan ini mencoba menelaah sampai sejauh mana eksistensi komisi-komisi tersebut dalam memainkan perannya secara positif dan kelemahan-kelemahan apa yang harus diperbaiki agar dapat berfungsi efektif. Tulisan ini juga akan melihat kemungkinan adanya komisi-komisi yang tidak lagi diperlukan dan yang masih Iayak dipertahankan.
B. KEDUDUKAN STATE AUXILIARY
AGENCIES DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
tyle='font-size:10.0pt;font-family:Arial'>Untuk mengetahui bagaimana kedudukan komisi-komisi pembantu negara dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, perlu mengkaji aturan hukum yang menjadi dasar pembentukan komisi-komisi tersebut.
Di dalam aturan-aturan hukum (UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang, dan lain sebagainya) itulah biasanya kedudukan sebuah institusi dirumuskan. Pembahasan masalah kedudukan komisi-komisi dalam sistem ketatanegaraan menjadi sangat penting tatkala komisi-komisi tersebut akan melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangannya sebagai lembaga pembantu negara yang di sekelilingnya telah berdiri lembaga-lembaga negara dengan kedudukannya yang jelas satu sama lain. Strategis tidaknya sebuah komisi akan sangat ditentukan oleh kuat lemahnya kedudukan komisi tersebut dibandingkan lembaga-lembaga negara yang lain. Bagian ini akan melihat apakah komisi-komisi seperti KPK, Komnas HAM, KON, dan KHN memiliki kedudukan yang setara satu sama lain atau sebaliknya.
Dalam lingkup yang lebih luas, juga akan dilihat apakah komisi-komisi ini berkedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang lain seperti Presiden, DPR, MPR, dan lain-lain, atau merupakan subordinate dad lembaga-lembaga negara tersebut.
Pembentukan KPK, Komnas HAM, KON, dan KHN tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan. KPK dibentuk tanggal 27 Desember 2002 pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri,[6] sekalipun gagasan perlunya lembaga ini dibentuk telah lahir pada masa kepemimpinan Presiden B.J. Habibie Sementara Komnas HAM yang awalnya dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 50/1993, lahir pada tanggal 23 September 1999 pada masa kepemimpinan Presiden B.J. Habibie.: Pada tahun yang sama (2000) --masa kepemimpinan Abdurahman Wahid— dan dengan dasar hukum yang sama pula (Keputusan Presiden), lahirlah dua komisi baru yaitu Komisi Hukum Nasional (KHN) pada tanggal 18 Februari 2000 dan Komisi Ombudsman Nasional (KON) pada tanggal 10 Maret 2000Berdasarkan landasan hukum pembentukannya, keempat komisi di atas dapat dibagi menjadi dua, yaitu komisi yang dibentuk dengan undangundang (KPK dan Komnas HAM) dan komisi yang dibentuk dengan Keputusan
Presiden (KON dan KHN). Persoalannya apakah dengan dasar hokum pembentukan yang berbeda itu, keempat komisi dimaksud memiliki., kedudukan yang sama?
Menurut UU No. 30/2002, KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Artinya KPK adalah sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Dengan lain perkataan, KPK adalah lembaga negara lain disamping lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Oleh karena UUD 1945 tidak lagi membedakan antara lembaga tinggi dan tertinggi negara, maka lembagalembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 merupakan lembaga-lembaga yang memiliki kedudukan sejajar satu sama lain. Akan halnya KPK yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang, sepanjang kewenangan itu tidak bertentangan dengan UUD, maka harus dipandang sebagai lembaga negara yang berkedudukan sejajar dengan lembagalembaga negara lain seperti MPR, Presiden, DPR, dan lain-lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD.[12]
Bagaimana dengan Komnas HAM? Sebelum diperbaharui dengan UU No. 39/1999, keberadaan Komnas HAM yang dibentuk dengan
Keppres No. 50/1993 banyak digugat banyak pihak karena tidak memiliki mandat
yang kuat dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Hal ini 'disebabkan karena disamping dibentuk dengan Keppres, kewenangan Komnas HAM hanya melakukan pemantauan dan penyelidikan serta hanya sebatas memberikan pendapat, pertimbangan dan saran kepada pemerintah.
Lebih kurang tujuh tahun sejak didirikan, dasar hukum pembentukan Komnas HAM diperbaharui dengan lahirnya Undang-Undang No. 39/1999 Tentang HAM. Hampir mirip dengan KPK, komisi ini diposisikan sebagai lembaga mandiri yang berkedudukan setingkat dengan lembaga negara lain, yang dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya berdiri sejajar dengan lembaga-lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Sekalipun secara vertikal Komnas HAM memiliki posisi sejajar dengan lembaga-lembaga negara lain, namun dalam pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangannya komisi ini harus memberikan laporan kepada Presiden dan DPR.[16] Jadi, meskipun Komnas HAM 'dianggap' memiliki kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga negara Ian, dari segi pertanggungjawaban komisi ini berada dibawah DPR dan Presiden.
Berbeda halnya dengan KPK dan Komnas HAM, Komisi Ombudsman Nasional (KON) tidak dibentuk dengan Undang-Undang tapi dengan sebuah Keputusan Presiden. Kehadiran KON dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan untuk melakukan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara yang dilakukan pemerintah termasuk lembaga peradilan Dengan melihat dasar hukum pembentukannya, jelas KON bukanlah lembaga negara yang memiliki kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga negara lain termasuk komisi-komisi seperti KPK dan Komnas HAM. KON adalah lembaga pengawas aparatur negara (the executive ombudsman) yang berkedudukan dibawah Presiden dan bersifat sementara sampai terbentuknya undangundang yang mengatur lembaga ombudsman secara lengkap.
Dengan lain perkataan, KON tidak dapat disejajarkan dengan komisi-komisi pembantu negara lain seperti KPK dan Komnas HAM, karena disamping ruang lingkup tugasnya hanya meliputi apartur negara (eksekutif), komisi ini dibentuk dengan dasar hukum yang kedudukannya lebih rendah dari undang-undang. Adanya pertimbangan yang menyebutkan bahwa KON diperlukan menjelang lahirnya undang-undang yang mengatur lembaga Ombudsman secara lengkap, menyiratkan sifat kesementaraan yang dimiliki KON yang dibentuk dengan sebuah Keppres. Sayangnya, sampai berakhir masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri pada tanggal 20 Oktober !alu, undang-undang tentang Ombudsman Nasional belum juga lahir.
Sama dengan KON, Komisi Hukum Nasional (KHN) juga dibentuk dengan sebuah Keputusan Presiden. Bedanya, bila Keppres No. 44/2000 tentang KON tidak secara eksplisit menempatkan KON sebagai lembaga pembantu Presiden, Keppres No. 15/2000 dengan tegas memandatkan kepada KHN untuk memberikan pendapat atas permintaan Presiden berkaitan dengan kebijakan pemerintah di bidang hukum. Jadi, KHN adalah komisi bentukan pemerintah yang memiliki ruang lingkup tanggung jawab di bidang hukum khususnya dalam hal pengkajian masalah-masalah hukum dan penyusunan rencana pembaharuan di bidang hukum. Sebagai lembaga yang bertugas memberi pendapat kepada Presiden tentang masalah hukum, tentu lembaga ini berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Konsekuensinys adalah, efektifitas KHN akan sangat ditentukan pada seberapa jauh Presiden benar-benar menerima dan menjalankan pendapat dan saran yang diberikan KHN. Sebaliknya KHN tidak memiliki kekuatan untuk memaksa Presiden menjalankan setiap rekomendasi yang diberikan, karena lembaga ini hanya berwenang memberi saran dan pendapat.
Oleh karena eksistensi KHN ditopang oleh produk hukum bernama Keppres, maka every time komisi ini bisa saja dibubarkan Presiden tanpa meminta persetujuan dari lembaga negara manapun termasuk DPR bila Presiden menganggap lembaga ini tidak lagi diperlukan.
C. TUJUAN, TUGAS DAN WEWENANG
BEBERAPA STATE AUXILIARY AGENCIES
C.1 Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK)
Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang lebih dikenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui UU No. 30/2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Lahirnya KPK merupakan implementasi dari UU No. 31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang explicitly menghendaki dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi paling lambat dua tahun sejak undang-undang ini diberlakukan.[20] Pembentukan KPK melalui sebuah undang-undang ini mengindikasikan betapa seriusnya upaya yang diiakukan pemerintah sehingga perlu melibatkan lembaga legislatif (DPR) dalam memberantas korupsi di Indonesia. Dengan lain perkataan, upaya pemberantasan korupsi merupakan political decision yang dibuat pemerintah bersama-sama dengan DPR dalam sebuah undangundang.
Sekalipun pembentukannya mengalami setahun lebih keterlambatan sejak diberlakukannya UU No. 31/1999, banyak pihak yang menaruh harapan besar terhadap KPK sebagai lembaga yang mampu memberantas korupsi secara efektif dan efisien. Bukan hanya karena kedudukannya yang sangat kuat karena dibentuk dengan undang undang, tapi juga karena lembaga yang disebut superbody ini memiliki kewenangan extra ordinary dalam pemberantasan korupsi mulai dari penyelidikan sampai penuntutan.[21] Dengan kewenangan yang luar biasa ini diharapkan KPK mampu memainkan peran yang besar sebagai lembaga penyelidik, penyidik, dan penuntut dalam kasus korupsi. Diberikannya kewenangan yang pada prinsipnya masih dimiliki kejaksaan dan kepolisian ini pada sisi lain juga menunjukkan betapa strategisnya kedudukan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di republik ini.
C.2 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM)
Komnas HAM, yang awalnya dibentuk dengan Keppres No. 50/1993 pada tanggal 7 Juni 1993 dan kemudian dipertegas dengan UU No. 39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia dimaksudkan untuk 'mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia' dan 'meningkatkan perlindungan daspenegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi da/am berbagai bidang kehidupan' Tujuan pembentukan Komnas HAM melalui undang-undang ini secara prinsipil ternyata tidak jauh berbeda dengan tujuan Komnas HAM sebelumnya yang dibentuk dengan Keppres, karena Komnas HAM 'generasi ertama' juga bertujuan membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM dan peningkatan perlindungan HAM di Indonesia.
HAM yang diakui secara konstitusional dalam UUD 1945 ini, tegastegas menghendaki upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM oleh pemerintah dalam sebuah undang-undang. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pembentukan KOMNAS HAM melalui UU No. 39/1999 adalah perintah langsung dari UUD 1945 sebagai sumber clan segala sumber hukum di negara Indonesia. Dengan demikian, eksistensi KOMNAS HAM dalam hukum ketatanegaraan Republik Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat karena tidak hanya dibentuk dengan undang-undang tetapi juga dilegitimasi oleh konstitusi negara.
Berkaitan dengan tugas dan kewenangan Komnas HAM yang diatur dalam UU No. 26/2000 mengenai pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk mengusut pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum undang-undang ini diberiakukan (retroaktif), mengandung kontradiksi dengan UUD 1945 yang dengan tegas tidak mengenal azas retroaktif. Disamping itu undang-undang ini juga memberikan kewenangan kepada DPR untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc jika mereka menilai telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu. Dalam kasus Trisakti misalnya, kewenangan tersebut telah dijalankan oleh DPR dengan mengatakan bahwa dalam kasus tersebut tidak terjadi pelanggaran HAM berat. Sebaliknya, KPPHAM yang dibentuk oleh Komnas HAM untuk menyelidiki kasus tersebut berbeda pendapat dengan DPR ketika menyimpulkan adanya indikasi pelanggaran HAM berat dalam kasus tersebut. Anehnya, Komnas HAM justeru tidak sependapat dengan KPP-HAM dan menyatakan dukungannya terhadap DPR. C.3 Komisi Ombudsman Nasional (KON)
Keberadaan Komisi Ombudsman Nasional (KON) yang dibentuk pada tanggal 10 Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden No. 44/2000 bertujuan meningkatkan pelayanan dan perlindungan hukum oleh aparat pemerintah dan peradilan kepada masyarakat.
Beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi pembentukan KON antara lain : pertama, peran serta masyarakat dalam melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme; kedua, pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang, ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi; ketiga, pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintah merupakan bagian integral dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan; keempat, pembentukan KON diperlukan sembari menyiapkan Rancangan Undang-undang yang mengatur mengenai Lembaga Ombudsman Nasional secara Iengkap. Implicitly, pembentukan KON dengan Keppres dianggap kurang 'ampuh' sebagai dasar hukum karena sebagai lembaga yang memiliki peran strategis dalam mengawasi penyelenggaraan negara, KON tidak semestinya berada di bawah Presiden tapi berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan komisikomisi pembantu negara lain yang dibentuk dengan undang-undang.
KON mempunyai empat tugas, yaitu : menyebarluaskan pemahaman mengenai Lembaga Ombudsman, melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan instansi pemerintah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, para ahli, praktisi, organisasi profesi dan lain-lain, melakukan langkah untuk menindaklanjuti Iaporan atau informasi mengenai terjadinya/penyimpangan oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya, maupun dalart, memberikan pelayanan umum, dan mempersiapkan konsep Rancangan Undang-Undang tentang Ombudsman Nasional. Sebagai sebuah lembaga yang bersifat mandiri, KON atau yang kemudian disebut Ombudsman Nasional memiliki kewenangan melakukan klarifikasi, monitoring atau pengawasan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
C.4 Komisi Hukum Nasional (KHN)
Komisi Hukum Nasional (KHN) sebagai salah satu state auxiliary agency yang dipersoalkan karena tidak efektif, dibentuk dengan Keppres No 15 Tahun 2000 tentang Komisi Hukum Nasional yang ditandatangani Presiden pada tanggal 18 Februari 2000 dan dilantik oleh Wakil Presiden tanggal 24 Februari 2000. Menurut Keppres ini, pembentukan KHN bertujuan mewujudkan sistem hukum nasional yang bercirikan supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia, berdasarkan keadilan dan kebenaran. Dalam rangka upaya tersebut dipandang perlu melakukan pengkajian masalah-masalah hukum dan penyusunan rencana pembaharuan di bidang hukum. Bila dilihat dari tujuannya, jelas komisi ini mengemban tugas yang sangat berat karena menyangkut masalah bagaimana sistem hukum nasional mampu mengatasi kompleksitas hukum secara material dan bagaimana konsep-konsep hukum itu diterapkan.
Sebagaimana diketahui, Pasal 2 Keppres 15/2000 memberikan dua tugas kepada KHN, yaitu : pertama, memberikan pendapat atas permintaan Presiden tentang berbagai kebijakan hukum yang dibuat atau dirancang oleh pemerintah dan tentang masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan kepentingan umum dan kepentingan nasional; dan kedua, membantu Presiden dengan bertindak sebagai. panitia pengarah dalam mendesain suatu Rencana Umum untuk Pembaharuan di Bidang Hukum yang sesuai dengan cita-cita negara hukum dan rasa keadilan, dalam upaya mempercepat penanggulangan krisis kepercayaan kepada hukum dan penegakan hukum, serta dalam menghadapi tantangan dinamika globalisasi terhadap sistem hukum di Indonesia. Sekalipun dua mandat ini tergolong cukup berat untuk dilaksanakan oleh sebuah komisi yang dibentuk berdasarkan sebuah Keppres, tidak satu pasal pun di dalam Keppres No. 15/2000 yang memberikan kewenangan tertentu kepada KHN sebagaimana diberikan kepada komisikomisi lain yang disebut terdahulu dalam rangka pelaksanaan tugas-tugasnya. Sebaliknya beberapa fungsi yang dimiliki KHN seperti fungsi pengkajian, fungsi bantuan dan fungsi penyusunan tanggapan,lebih tepat disebut sebagai penjabaran dari tugas-tugas KHN yang telah dimandatkan Keppres dalam Pasal 2. )adi, KHN tidak lebih hanyalah sebuah komisi yang dibebani tugas berat tanpa memiliki kewenangan yang jelas guna pengimplementasian tugas-tugasnya itu.
D. REFORMASI HUKUM DAN PERAN BEBERAPA STATE AUXILIARY AGENCIES
Kata reformasi yang dulu begitu populer ketika negara ini masih dipimpin oleh Presiden Soeharto, kini tak lagi menarik diperbincangkan dan mulai kehilangan makna. Tuntutan reformasi di segala bidang yang disuarakan masyarakat khususnya kalangan mahasiswa kala itu, tak terkecuali reformasi di bidang hukum, dianggap belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Ironisnya, hasil penelitian Program Peta Reformasi (PRH) Komisi Hukum Nasional (KHN) tahun 1999-2001 menyebutkan bahwa upaya reformasi di bidang hukum dinilai masih sebatas
wacana. Ini berarti, upaya apa pun yang telah dilakukan dalam kurun waktu tersebut, belum menyentuh substansi persoalan hukum yang sedang dihadapi bangsa ini, yakni hukum yang mudah disalahgunakan dan hukum yang rapuh dalam mengatasi berbagai tindakan kejahatan atau pelanggaran. Padahal agenda reformasi hukum yang termuat dalam Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1999 Tentang GBHN meliputi reformasi peraturan perundang-undangan, reformasi peradilan, reformasi aparatur penegak hukum, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dan KKN, dan menumbuhkan budaya taat hukum, adalah agenda yang tidak mustahil untuk diwujudkan.
Berbicara masaiah reformasi hukum, tentu tidak terlepas dari peran berbagai pihak termasuk aparatur dan institusi yang bergerak di bidang hukum. Peran yang jelas tidak akan berarti apa-apa tanpa dukungan dan keterlibatan pihak lain terutama aparatur pemerintah yang bergerak diluar bidang hukum dan masyarakat secara umum. Peran ini tentu saja tidak hanya terletak pada bagaimana sistem hukum yang ada bisa dibenahi, tapi juga bagaimana sistem hukum yang diformulasikan dalam bentuk aturan-aturan hukum baik materiil maupun formal itu ditegakkan secara konsekuen. Dalam situasi dimana institusi formal yang bertanggung jawab melakukan reformasi di bidang hukum belum memberikan perubahan yang berarti, kehadiran state auxiliary agencies seperti KPK, Komnas HAM, KON dan KHN tentu diharapkan mampu memainkan peran yang signifikan dalam upaya pembaharuan hukum.
Salah satu persoalan serius yang dihadapi bangsa ini sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno (Orde Lama), pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru), hingga masa reformasi seperti sekarang ini namun belum menunjukkan tanda-tanda ke arah perbaikan adalah praktek KKN yang terjadi hampir di setiap sisi kehidupan masyarakat dan telah menimbulkan kerugian bagi negara dalam jumlah tidak sedikit. Tidak mengherankan, bila agenda pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia,yang hanya dapat diwujudkan dengan menempuh upaya-upaya yang Iuar biasa (extra ordinary effort). Kini, setelah hampir dua tahun berdiri, peran seperti apakah yang telah dimainkan KPK sebagai komisi yang disebut memiliki extra ordinary authority?.
Secara yuridis, KPK memiliki lima tugas di bidang pemberantasan korupsi yaitu melakukan koordinasi dengan dan supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Kelima tugas yang dimandatkan undang-undang kepada KPK tersebut diikuti dengan beberapa kewenangan. Salah satu kewenangan yang erat kaitannya dengan upaya reformasi di bidang hukum adalah kewenangan untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kejaksaan dan kepolisian dengan beberapa alasan, misalnya proses penanganan tindak pidana korupsi yang berlarut-larut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Kewenangan mengambil alih proses penyidikan atau penuntutan yang sedang dilakukan oleh sebuah institusi penegak hukum ini membuktikan bahwa KPK merupakan lembaga yang memiliki kewenangan Iuar biasa. Sayangnya, belum satu pun kasus yang penanganannya masih terkatungkatung di kejaksaan dan kepolisian berhasil diambil alih KPK. Bahkan, dua kasus korupsi yaitu kasus pembelian helikopter Mi-2 dan kasus pelabuhan taut di Pulau Kei, Kabupaten Maluku Tenggara yang telah selesai diproses KPK, belum bisa ditimpahkan ke meja hijau karena pengadilan ad hoc korupsi yang berwenang mengadili kasus korupsi yang penuntutannya diajukan KPK masih harus menunggu hakim-hakimnya selesai 'sekolah'.
Terlepas dare kewenangan Iuar biasa yang dimiliki KPK khususnya dalam melakukan terobosan-terobosan di bidang penegakan hukum, peran komisi ini menjadi tidak maksimal karena belum diikuti oleh lembaga-lembaga terkait Iainnya. Terlebih lagi, eksistensi KPK yang juga berwenang melakukan kajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah, dan memberi saran untuk melakukan perubahan, tidak akan berjalan efektif tanpa dukungan semua pihak.
Selain penyelesaian kasus-kasus KKN, agenda reformasi hukum juga menempatkan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM sebagai prioritas utama. Namun berbeda dengan KPK yang memiliki kewenangan luar biasa dalam pemberantasan korupsi, eksistensi Komnas HAM yang oleh Pasal 76 UU No. 39/1999 Tentang HAM dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia, hanyalah sebagai institusi yang memiliki fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia. Berdasarkan ketentuan ini, Komnas HAM tidak memiliki kewenangan melakukan upaya penegakkan hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berupa penyelidikan, penyidikan atau penuntutan sebagaimana dimiliki oleh KPK. Menyadari akan pentingnya penegakan hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM, pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 26/2000 Tentang Pengadilan HAM yang dalam salah satu pasalnya memberi kewenangan baru kepada Komnas HAM, yakni sebagai penyelidik terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat.[39] Bila dibandingkan dengan KPK, tetap saja kewenangan baru yang dimiliki Komnas HAM ini belum menyamai kewenangan KPK yang dapat melakukan penyelidikan sampai penuntutan. Kewenangan Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat, dalam praktek banyak menimbulkan ketidakpuasan publik karena banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang berujung pada ketidakpastian hukum. Kasus-kasus pelanggaran HAM seperti Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, perkara kerusuhan Mei, serta perkara Aceh dan Papua, yang telah selesai diselidiki Komnas HAM, sampai saat ini belum satu pun yang ditindakianjuti oleh Jaksa Agung sebagai aparatur yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan. Ketidak seriusan Jaksa Agung menindakianjuti hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM ini jelas memberi kesan seolah-olah Komnas HAM belum berbuat 'maksimal. Di sisi lain, kondisi ini akan menjadikan Komnas HAM ibarat 'macan ompong' karena disamping nasib dari hasil penyelidikannya akan sangat bergantung pada political will Jaksa Agung, juga Komnas HAM tidak memiliki upaya lain ketika hasil kerjanya tidak pernah ditindak lanjuti.
Ditempatkannya Jaksa Agung sebagai satu-satunya institusi yang berwenang menyidik dan menuntut kasus-kasus pelanggaran HAM berat mengakibatkan 'terbonsainya' kewenangan Komnas HAM yang hanya berwenang melakukan penyelidikan. Dengan kewenangan yang terbatas ini, sulit diharapkan Komnas HAM akan mampu berperan secara maksimal dalam penanganan kasus pelanggaran HAM berat bahkan hanya untuk menetapkan status 'tersangka' dalam suatu kasus pelanggaran HAM berat. Keterbatasan kewenangan yang dimiliki Komnas HAM inilah menurut hemat penulis yang menjadi salah satu penyebab mandegnya proses penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia sebaagai salah satu agenda prioritas reformasi di bidang hukum.
Agenda prioritas lain yang juga sangat mendesak dilaksanakan dalam mereformasi hukum adalah perbaikan lembaga peradilan. Upaya ini mutlak dilakukan mengingat jalannya law enforcement khususnya pelanggaran HAM dan korupsi tidak hanya ditentukan oleh keseriusan aparatur penegak hukum dalam mengusut kasus-kasus tersebut melalui tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, tapi juga sangat tergantung pada sejauh mana lembaga peradilan yang diberikan kewenangan untuk itu benar-benar menjaga independensinya dalam melaksanakan due process of law. Upaya untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan agar tetap independen dan tidak memihak (impars/al) dalam memeriksa dan memutus kasus-kasus pelanggaran HAM dan korupsi, perlu terus dilakukan. Kelahiran Komisi Ombudsman Nasional (KON) yang dimaksudkan untuk mendorong terciptanya good governance, juga dibebani tanggung jawab dalam melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan. Harapan masyarakat terhadap KON dalam melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan bukan tanpa alasan. Dari catatan statistik yang dimiliki KON, sepanjang tahun 2003 komisi ini telah menerima 1121 laporan dari masyarakat. Dari laporan tersebut, sebanyak 31% berisi keluhan terhadap lembaga peradilan. Banyaknya keluhan dan pengaduan masyarakat yang diterima KON sehubungan dengan rendahnya pelayanan umum yang dilakukan penyelenggara negara terhadap masyarakat, menunjukkan bahwa eksistensi KON masih diperlukan. Sayang, antusiasme masyarakat terhadap eksistensi KON ini tidak diikuti dengan perubahan kinerja instansi penyelenggara negara yang menjadi obyek laporan. Terlebih lagi, kewenangan KON yang hanya sebatas meminta klarifikasi atau memberi rekomendasi kepada instansi terkait dan atau aparat penegak hukum yang berwenang untuk menindaklanjuti, menjadikan KON tidak memiliki 'daya paksa' (non legal binding) terhadap instansi terkait yang enggan memberi klarifikasi atau menjalankan rekomendasi yang disampaikan KON. Eksistensi KON yang dibentuk dengan Keputusan Presiden, juga menjadikan nasib komisi ini sangat rentan dengan perubahan politik yang berkembang secara fluktuatif sehingga keberadaannya sewaktu-waktu dapat diubah atau bahkan dibubarkan.
Melihat fakta-fakta di atas, wajar bila dikatakan bahwa peran serta KON dalam mendukung agenda reformasi hukum di Indonesia akan lebih berarti bila komisi ini diberi tugas yang lebih spesifik dengan kewenangan yang lebih jelas dan tegas serta dasar hukum yang lebih kuat. Dengan lain perkataan, eksistensi KON yang kurang powerful/ lambat-laun akan ditinggalkan publik yang mulai putus asa sebagai akibat tak adanya solusi konkrit dari berbagai problem dalam penyelenggaraan negara, karena minimnya peran yang dapat disumbangkan komisi ini dalam rangka mengimplementasikan agenda reformasi di bidang hukum.
Upaya mewujudkan agenda reformasi hukum di Indonesia semakin menguat manakala pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 15/2000 membentuk Komisi Hukum Nasional dengan mandat utama memberikan pendapat 'atas permintaan' Presiden tentang kebijakan dan masalah-masalah hukum, dan membantu Presiden dalam mendesaign rencana umum pembaharuan di bidang hukum. Dengan dua mandat ini, pads satu sisi sesungguhnya KHN dapat diposisikan sebagai lembaga yang bertanggung jawab menjaga agar agenda reformasi hukum secara keseluruhan dapat berjalan sesuai dengan cita-cita negara hukum dan rasa keadilan masyarakat (sense of public justice). Dengan demikian, reformasi di bidang hukum yang meliputi reformasi peraturan perundang-undangan, reformasi peradilan, reformasi aparatur penegak hukum, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dan KKN, dan menumbuhkan budaya taat hukum, menjadi ruang lingku.: tugas komisi ini. Jadi, KHN sesungguhnya tidak hanya menjadi 'kon:-ibutor' pemikiran dan pengawas jalannya agenda reformasi hukum bagi lembaga eksekutif, tapi juga yudikatif dan legislatif. Namun di sisi lain, dasar pembentukan KHN dengan sebuah Keppres dan kekuatan mandat yang baru dapat dijalankan apabila ada permintaan dari Presiden, jelas sangat membatasi peran KHN dalam mendukung agenda reformasi hukum, tidak hanya bagi kalangan yudikatif dan legislatif, tapi juga bagi kalangan eksekutif sendiri.Kaitannya dengan pelaksanaan mandat yang diberikan oleic Keppres No. 15/2000, KHN paling tidak telah melakukan beberapa kegiatan utama, antara lain pengkajian isu-isu hukum aktual yang berkembang di tengah masyarakat, laporan hasil penelitian, dan rekomendasi program reformasi hukum.[47] Kegiatan-kegiatan tersebut, terutama hasil kajian KHN tentang Peta "Program Reformasi Hukum" (PRH) jelas sangat besar manfaatn', a bagi kalangan eksekutif, yudikatif; legislatif, dan kelompok-kelompok mas,rarakat dalam memberikan gambaran tentang program pembangunan hukum dalam kondisi transisi politik dan krisis multi dimensi yang sedang dihadapi Bangsa Indonesia dewasa ini. Demikian pula usulan dan pendapat yang diberikan kepada Presiden, akan sangat besar artinya bagi perubahan sistem hokum nasional bila rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan KHN itu diadopsi dan dijalankan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah. Sejalankah hasil kerja KHN dengan agenda reformasi hukum? Seberapa konsistenkah pemerintah menjalankan rekomendasi-rekomendasi yang diberikan KHN?
Sejak dibentuk lebih empat tahun lalu, beberapa agenda reformasi hukum yang berhasii direkomendir KHN meliputi. rekomendasi yang berkaitan dengan upaya membangun birokrasi pemerintah berlandaskan prinsip good governance, upaya membangun lembaga legislatif yang aspiratif dan berwibawa, upaya membangun lembaga peradilan yang menjunjung supermasi hukum yang berkeadilan, dan upaya membangun profesi hukum yang berkualitas dan berintegritasn Secara umum, rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan KHN ini masih sejalan dengan agenda reformasi hukum yang diinginkan masyarakat, sekalipun beberapa agenda lain seperti penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dan KKN dan reformasi peraturan perundangundangan sepertinya luput dari perhatian KHN. Dua agenda reformasi hukum ini mestinya juga menjadi prioritas KHN dalam bentuk rekomendasirekomendasi tentang bagaimana mengatasi 'benang kusut' yang terjadi pada dua persoalan tersebut. Persoalan lain yang juga masih menggantung adalah tidak adanya evaluasi internal di dalam tubuh KHN sendiri menyangkut kinerja yang komisi ini dikaitkan dengan mandat yang dimilikinya, termasuk sampai sejauh mana pemerintah menerima dan melaksanakan masukan-masukan
KHN dan kendala-kendala prinsip apa yang dihadapi komisi ini dalam menjalankan rencana reformasi di bidang hukum.
KESIMPULAN
Agenda reformasi di bidang hukum merupakan salah satu agenda reformasi yang tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk mewujudkannya, karena sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, meliputi berbagai macam aspek, dan melibatkan multi stakeholders. Oleh karenanya, peran serta semua pihak melalui jalinan kerjasama yang sinergi, balk pemerintah maupun masyarakat akan sangat menentukan berhasil tidaknya upaya reformasi di bidang hukum. Namun, lemahnya political will aparatur penyelenggara negara dalam merespon harapan dan tuntutan masyarakat sejak era reformasi digulirkan, mengakibatkan minimnya partisipasi masyarakat sebagai akibat public distrust yang terjadi tidak hanya terhadap lembaga eksekutif, tapi juga yudikatif dan legislatif.
Di tengah keputus-asaan akan datangnya perubahan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara yang ada, kehadiran komisi-komisi pembantu negara atau state auxiliary agencies seperti KPK, Komnas HAM, KON, dan KHN memberi harapan baru bagi terwujudnya reformasi di bidang hukum. Harapan ini tentu beralasan, mengingat keempat komisi ini memiliki tugas dan kewenangan yang erat kaitannya dengan agenda reformasi di bidang hukum.
Namun, harapan yang besar terhadap eksistenti komisi-komisi ini belum mampu dipenuhi secara maksimal karena berbagai sebab, antara lain :
pertama, adanya kendala eksternal yang menghambat pelaksanaan tugas dan kewenangan komisi sehingga komisi-komisi dengan kewenangan yang luar biasa kurang berdaya melaksanakan mandat yang diberikan kepadanya;
kedua, dasar hukum pembentukan komisi-komisi yang berbeda satu sama lain mengakibatkan perbedaan kedudukan dalam sistem ketatanegaraan dengan lembaga-lembaga negara yang lain mengakibatkan ada beberapa komisi yang sewaktu-waktu dapat dibubarkan karena dasar hukum pembentukannya yang sangat lemah;
ketiga, adanya komisi-komisi dengan ruang lingkup tugas yang kurang spesifik dan tidak diikuti dengan kewenangan yang tegas dengan kekuatan pemaksa sehingga kurang powerfull dan hasil kerjanya kurang memenuhi tuntutan agenda reformasi; dan masih adanya aparatur penyelenggara negara yang enggan menjalankan rekomendasi atau saran komisi sehingga konsep perubahan yang ditawarkan tidak memberi dampak apa-apa.
Berpijak dari kondisi tersebut di atas, maka eksistensi state auxiliary agencies seperti KPK, Komnas HAM, KON dan KHN tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap agenda reformasi di bidang hukum tanpa adanya political baik dari kalangan internal komisi-komisi sendiri maupun kalangan eksternal khususnya kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk mendukung dan memberi back-up pelaksanaan tugas-tugas komisikomisi tersebut. Komisi-komisi dengan lingkup kewenangan terbatas seperti Komnas HAM, KON, dan KHN perlu ditingkatkan melalui landasan hukum yang lebih kuat (misalnya undang-undang) yang khusus dibuat untuk itu dengan pemberian mandat yang jelas dan tidak saling berbenturan antara komisi yang satu dengan komisi yang lain. Khusus KHN, posisinya akan sangat strategis apabila ditempatkan sebagai komisi yang diberi kewenangan mengawasi pelaksanaan agenda reformasi di bidang hukum balk oleh eksekutif, maupun yudikatif dan legislatif dengan tanggung jawab mempublikasikan hasil pengawasannya kepada masyarakat.



Advokasi pada Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang UU No. 30/2002, Menimbang butir b. Undang-undang ini disahkan pada tanggal 27 Desember 2002 dan diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 137
UU No. 26/2000, Penjelasan Umum butir 1. Undang-undang ini disahkan pada tanggal 23 Nopember 2000 dan diundangkan daiam Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 4026
UU No. 39/1999, Pasal 75. Undang-undang ini disahkan pada tanggal 23 September 1999 dan diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165
Kompas, .../9/2004 dan 2/10/2004
UU No. 30/2002
UU No. 31/1999. Undang-undang ini disahkan pada tanggal
1 Agustus 1999 dan diundangkan dalam Lembaran Negara Tabun 1999 Nomor 140
UU No. 39/1999
Keppres No. 15/2000 dan Keppres No. 44/2000
UU No. 30/2002, Pasal 3
Lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD yaitu : MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, dan Komisi Yudisial.
Permasalahan kewenangan KPK dan komisi-komisi lain akan dibahas pada bagian tersendiri dalam tulisan ini
Sri Hastuti Puspitasari, "Kom'ias HAM Indonesia Kedudukan dan Perannya dalam Saruktur Ketatanegaraan Indonesia", artikel dalam Jumal Hukum No. 21 Vol. 9 September 2002, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hal. 106
Keppres No. 50/1993
UU No 39/1999, Pasal 1 angka 7
UU No.39/1999, Pasal 97
Keppres No. 44/2000, Pasal 2
Keppres No. 44/2000, dasar Menimbang
butir d Keppres No. 15/2000, Pasal 2
UU No. 31/1999, Pasal 43 Ayat (1)
UU No. 30/2002, Pasal 6 butir d
UU No. 39/1999 Pasal 75
Sri Hastuti <>
style='font-family:Arial'>Puspitasari, loc. cit,
hal. 103
UUD 1945, Pasal 28I
Gerakan Advokasi HAM pada Masa Transisi, dalam Gerakan
Demokrasi di Indonesia Pasca Soeharto, DEMOS, Jakarta, 2003, hal. 460-461
Komisi Ombudsman Nasional, http://www.ombudsman.or.id/ttgkami.htm
Keppres No. 44/2000, Pasal 4
Keppres No. 44/2000, Pasal 2
Kompas, 2 Oktober 2004
Keppres No. 15/2000,Menimbang butir a
Keppres No. 15/2000, Pasal 2
Keppres 15/2000, Pasal 3
Komisi Hukum Nasional (KHN), Newsletter, Edisi November-Desember
20C3, hal. 4
Andriani Nurdin, "Peran Hakim Perempuan Da/am Pembaharuan Hukum di Indonesia", artikel
dalam Jurnal Hukum Jentera, Edisi 2-Tahun II, Juni 2004, hal. 54
Mahmudin Muslim, Ja/an
Panjang Menuju KPTPK, GeRAK Indonesia, Jakarta, 2004, hal 33
UU No. 30/2002, Pasal 6
Kompas, 4 November 2004
UU No. 30/2002, Pasal 14
UU No. 26/2000, Pasal 18 Ayat (1)
Kompas, 19 November 2004
Bandingkan misalnya dengan POLRI, yang disamping berwenang
melakukan penyelidikan, juga diberi wewenang melakukan penyidikan dan menetapkan
status tersangka dalam kasus tindak pidana.
Lihat note 29
Laporan Tahunan Komisi Ombudsman Nasional tahun 2003
Misalnya khusus mengawasi masalah administrasi negara
atau penegakan etika kepemimpinan
Misalnya diatur dalam undang-undang atau konstitusi
Lihat note 32
Laporan Tahunan 2003 Komisi Hukum Nasional
Komisi Hukum Nasionai, Kebijakan Reformasi Hukum (Suatu Rekomendasi), KHN, Jakarta, 2003
( Sumber Internet)

Contoh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Yayasan

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Yayasan Indonesia Bremen

P E M B U K A A N


Bahwasanya para pelajar Indonesia sebagai bagian dari Bangsa Indonesia, memiliki tanggung jawab nasional untuk menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran para pelajar sebagai suatu bangsa yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta berpedoman pada Haluan Negara, ikut serta mengisi kemerdekaan dengan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mempercepat pembangunan nasional demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut adalah tanggung jawab kitabsemua untuk ikut serta mengisi kemerdekaan dengan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mempercepat pembangunan nasional demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Bidang pendidikan merupakan salah satu hal yang mendasar untuk mencapai cita-cita tersebut.
Bahwasanya untuk melanjutkan dan melaksanakan cita-cita bangsa serta mempersiapkan tunas-tunas bangsa dengan panggilan sejarah dan mewujudkan tanggung jawabnya, maka para pendukung kegiatan Malam Indonesia pada bulan September 1998 di Bremen berhimpun dalam Yayasan Indonesia Bremen.
Yayasan ini terbentuk melalui kegiatan yang diselenggarakan para pelajar dan semua pihak yang membantu kelancaran kegiatan malam Indonesia. Berdasarkan rasa tanggung jawab, keprihatinan yang mendalam terhadap krisis ekonomi yang melanda bansa Indonesia dan keinginan untuk mewujudkan rasa Sadar sepenuhnya akan panggilan sejarah, fungsi dan tanggung jawab para pelajar, maka dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kami para pelajar yang ada di Jerman dengan ini menetapkan ANGGARAN DASAR YAYASAN INDONESIA BREMEN sebagai berikut :



BAB I
Nama, Kedudukan dan Waktu
Pasal 1:
Yayasan bernama Yayasan Indonesia Bremen , disingkat YINBRE, dengan terjemahan kedalam bahasa Inggris : Indonesian -Bremen Council.
Pasal 2 :
Yayasan berkedudukan di salah satu kota di Republik Federasi Jerman yang ditetapkan oleh Pengurus baru terbentuk melalui Musyawarah Besar Yayasan Indonesia Bremen
Pasal 3:
Yayasan didirikan di Bremen pada tanggal 23 September 1998 untuk waktu yang tidak ditentukan dan sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara Federasi Jerman Indonesia

BAB II
Sifat Yayasan
Pasal 4 :
Yayasan Indoensia Bremen adalah Yayasan yang mengabdikan diri kepada masyarakat dalam bidang pendidikan.


BAB III
Dasar, Tujuan dan Usaha
Pasal 5 :
Dasar Yayasan adalah Pancasila dan UUD 1945
Pasal 6 :
Yayasan bertujuan membantu biaya pendidikan anak-anak usia sekolah untuk meningkatkan prestasi belajar. Pasal 7 : Yayasan melaksanakan usaha-usaha yang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

BAB IV
Bentuk Yayasan
Pasal 8 :
Yayasan Indonesia Bremen terdiri dari :
1.Badan Legislatif yaitu : Musyawarah Besar dan Rapat Anggota Luar Biasa
2.Badan Eksekutif, yaitu : Pengurus Pusat, Pengurus Cabang
3.Badan Khusus yang dibentuk Yayasan
BAB V Keanggotaan
Pasal 9 :
Anggota Yayasan terdiri atas anggota muda, anggota biasa dan anggota kehormatan. BAB VI.Perbendaharaan
Pasal 10 :
Perbendaharaan Yayasan diperoleh dari uang iuran, sumbangan dan usaha lain yang sah yang didasarkan kesukarelaan dan kepedulian pada misi Yayasan.
BAB VII. Anggaran Rumah Tangga
Pasal 11 :
Hal-hal yang tidak diatur dalam Anggaran Dasar diatur dalam Anggaran Rumah Tangga

BAB VIII.Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Pasal 12 :
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga hanya dapat diubah oleh Musyawarah Besar.

BAB IX.Pembubaran Yayasan
Pasal 13 :
Pelaksanaan Musyawarah untuk pembubaran Yayasan hanya dapat diadakan atas usul sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah anggota. Pasal 14 : Keputusan Musyawarah untuk pembubaran harus diambil dengan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah suara.
Pasal 15 :
Setelah pembubaran segala hak milik Yayasan diserahkan kepada badan-badan atau Yayasan yang ditetapkan oleh Musyawarah. BAB X.Penutup
Pasal 16 :
Pengurus Yayasan memutuskan segala perselisihan dalam penafsiran Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 17 :
Pengurus Yayasan dapat memutuskan hal-hal yang belum diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sepanjang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga tersebut.
Pasal 18 :
Keputusan-keputusan Pengurus Yayasan mengenai pasal 16 dan 17 kemudian dimintakan pengesahan kepada Musyawarah yang berikutnya.


Angaran Rumah Tangga Yayasan Indonesia Bremen
BAB I.Nama
Pasal 1 :
Yang dimaksud dengan para pelajar adalah para pelajar atau anggota masyarakat Indonesia yang belajar dengan biaya sendiri maupun yang memperoleh bantuan untuk belajar di Republik Federasi Jerman.
BAB II.Usaha
Pasal 2 :
Yayasan berusaha mencapai tujuan dengan :
01.Pertukaran ilmu, pengalaman dan pikiran antara para pelajar lainnya.
02.Membuat berbagai rencana, serta menyeragamkan pendapat dalam berbagai
rencana, serta menyeragamkan pendapat dalam berbagai usaha Yayasan,
yang dihadapi masyarakat Indonesia khususnya dalam bidang pendidikan.
03.Mengajukan saran-saran kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
buat Homepage dan Publikasi Berkala yang berhubungan dengan yayasan dan
Pendidikan.
04.Menyelenggarakan Musyawarah Besar Yayasan Indonesia Bremen secara berkala.
05.Mengadakan hubungan dan kerja sama dengan badan-badan dan perkumpulan-
perkumpulan lain didalam dan diluar negeri yang seazas dan setujuan dengan
Yayasan.
06.Memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan misi Yayasan.
07.Merencanakan dan mengarahkan pendidikan anak-anak sekolah di Indonesia
08.Mengadakan usaha-usaha sendiri dengan cara yang sah, yang sesuai dengan tujuan
Yayasan.

BAB III.Musyawarah
Pasal 3:
01.Musyawarah terdiri dari :
a.Bidang pertanggung Jawaban Pengurus
b.Sidang-sidang Komisi (Business Session)
c.Sidang-sidang Pleno
02.Sidang Pertanggung Jawaban dapat diikuti oleh setiap anggota Yayasan
Sidang Pleno mensyahkan hasil sidang-sidang komisi
Pasal 4 :
01.Musyawarah Besar merupakan kekuasaan tertinggi dari Yayasan.
02.Musyawarah Besar adalah sah, jika dihadiri oleh lebih dari setengah jumlah
anggota
Pasal 5 :
01.Musyawarah bersidang sekali dalam 1 (satu) tahun dan dipimpin oleh Ketua
Yayasan yang dipilih oleh Sidang Pleno Organisasi
02.Musyawarah memilih Ketua Yayasan untuk masa jabatan 2 (dua) tahun.
02.Musyawarah mengambil keputusan atas dasar musyawarah dan mufakat
03.Musyawarah luar dapat diadakan jika dianggap perlu oleh Pengurus Pusat atau
atas usul sekurang-kurangnya cabang.

Pasal 6 :
01.Musyawarah diselenggarakan oleh Pengurus Pusat bersama Panitia Musyawarah.
02.Ketua Panitia Musyawarah adalah Ketua Cabang tempat dimana musyawarah
diselenggarakan.
03.Guna kelancaran sidang-sidangnya, musyawarah menetapkan peraturan-peraturan tata tertib sidang-sidang Organisasi

Pasal 7 :
01.Pengurus Pusat memberikan petanggungjawaban kepada musyawarah tentang pekerjaan selama kepengurusannya.
02.Musyawarah mensyahkan Susunan Pengurus Pusat yang diusulkan oleh Ketua
03.Musyawarah menetapkan waktu dan tempat Kongres berikutnya.

Pasal 8 :
Pembiayaan Musyawarah:
01.Panitia Musyawarah bertanggung jawab penuh atas pembiayaan musyawarah
02.Panitia Muysawarah mengusahakan dana untuk pembiayaan Musyawarah menurut cara-cara yang sah dan halal.
03.Semua dana yang didapatkan untuk dan atau atas nama Musyawarah menjadi kekayaan Panitia Musyawarah.
04.Kekayaan Panitia Musyawarah dalam bentuk uang dan barang, menjadi kekayaan
bersama dari Pengurus Pusat dan Pengurus Cabang dimana Musyawarah diadakan
dalam perbandingan 30% untuk Pengurus Pusat dan 70% untuk Cabang yang
bersangkutan.
05.Kekurangan biaya yang timbul untuk melaksanakan Musyawarah menjadi tanggungan bersama dari Pengurus Pusat dan Pengurus Cabang dimana Musyawarah diadakan dalam perbandingan 30% menjadi tanggungan Pengurus Pusat dan 70% menjadi tanggungan Pengurus Cabang yang bersangkutan.

BAB IV.Panitia Musyawarah
Pasal 9 :
01.Panitia Musyawarah dibentuk oleh Cabang dimana musyawarah diadakan.
02.Panitia Musyawarah disahkan oleh Pengurus Pusat atas usul dari Cabang yang
membentuknya.

Pasal 10 :
01.Panitia Musyawarah berkewajiban menyelenggarakan semua kegiatan mulai dari
persiapan sampai berakhirnya Musyawarah

02.Panitia Musyawarah membentuk bagian-bagian menurut kebutuhan (akomodasi,
angkutan dan lain-lain)
Pasal 11 :
01.Panitia Musyawarah menyampaikan pemberitahuan waktu diadakannya
Musyawarah 1 (satu) bulan sebelumnya.
02.Anggota yayasan menyatakan kesanggupannya menghadiri Musyawarah secara
tertulis paling lambat 2 (dua) minggu sebelumnya.
03.Dalam hal anggotatidak hadir dalam Musyawarah, anggota tersebut dianggap
menyetujui keputusan Musyawarah.

Pasal 12 :
01.Panitia Musyawarah harus menyampaikan laporan periodik yang lengkap pada
Pengurus Pusat mengenai semua perkembangan dalam mempersiapkan Musyawarh
Seminggu sekali sebelum Musyawarah diadakan.
02.Panitia Musyawarah mempertanggungjawabkan penyelenggaraan Musyawarah
kepada Pengurus Pusat selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah Musyawarah
berakhir berakhir, setelah mana Panitia musyawarah dibubarkan oleh Pengurus
Pusat.
03.Bilamana pertanggung-jawaban Panitia Kongres dimaksud tidak diterima baik oleh
Pengurus Pusat maka Pengurus Pusat dibenarkan untuk tidak membubarkan Panitia
Musyawarah. Panitia Kongres akan dianggap bubar, setelah persoalan dimajukan
dan dibicarakan dalam sidang Organisasi Musyawarah berikutnya.

BAB V
Kegiatan Yayasan

BAB VII
Pengurus Pusat
Pasal 13 :
01.Anggota Pengurus Pusat terdiri dari sekurang-kurangnya 5 (lima) anggota biasa.
02.Pengurus Pusat sekurang-kurangnya terdiri dari Ketua, Skeretaris, Bendahara, Seksi Beasiswa
03.Ketua tidak diperbolehkan memangku jabatannya berturut-turut lebih dari tiga kali.
04.Bilamana Ketua, maka Sekretaris merangkap sebagai Ketua dan bilamana
Sekretaris Umum berhalangan, maka penggantinya ditunjuk dari salah
seorang anggota Pengurus.
05. Pengurus Pusat dapat mengadakan seksi-seksi menurut kebutuhan.

BAB VIII.Cabang
Pasal 14 :
01. Cabang dapat dibentuk atas sekurang-kurangnya 3 (tiga) anggota biasa.
02.Pengurus Cabang sekurang-kurangya terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Bendahara
yang disahkan oleh Pengurus Pusat.
03.Rapat Anggota Cabang merupakan Badan Kekuasaan Tertinggi untuk Cabang yang
diadakan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun.
04.Pengurus Cabang mengatur Organisasi Cabang melaksanakan ketentuan-ketentuan
keputusan-keputusan Pengurus Pusat.


BAB IX.Badan Khusus
Pasal 15 :
01.Badan khusus dan Ketuanya dibentuk atau diangkat dan dibubarkan atau
diberhentikan oleh Pengurus Pusat.
02.Anggota Badan Khusus terdiri dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) dan sebanyak
-banyaknya 7 (tujuh) anggota biasa, yang diangkat dan diberhentikan oleh
ketua Badan Khusus.
03.Badan Khusus bertanggung jawab atas pekerjaannya kepada Pengurus Pusat.
04.Masa kerja Badan Khusus disesuaikan dengan masa kerja Pengurus Pusat.