JAKARTA: PT Kertawira Seralestari, perusahaan tambang batu bara, lolos dari pailit setelah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak permohonan pernyataan pailit yang dilayangkan Tojib Iskandar dkk.
Pada putusan yang dibacakan ketua majelis hakim Panji Widagdo, pekan ini, permohonan pailit terhadap Kertawira dinyatakan ditolak, karena para pemohon tidak mampu membuktikan adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, seperti yang dimaksud dalam ketentuan UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyebutkan para pemohon tidak dapat membuktikan adanya hubungan tanggung jawab atau perjanjian antara kedua pihak. Mengingat tidak adanya hubungan tanggung jawab menyebabkan tidak adanya utang yang dapat ditagih dan telah jatuh tempo.
Sebelumnya, Tojib Iskandar, Bambang Trisulo, Ahmad Syauqi Yahya, dan Bustami Nasrun, yang mengklaim telah bekerja pada Kertawira, melayangkan permohonan pailit terhadap perusahaan itu, karena mengklaim adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih yang nilai totalnya mencapai Rp4,53 miliar.
Menurut para pemohon, utang itu timbul karena perusahaan tersebut tidak membayar utang biaya operasional, biaya yang timbul dari invoice, utang gaji dan tunjangan hari raya kepada para pemohon pailit.
Kuasa hukum pemohon pailit, Rully M. Simorangkir, tidak mau berkomentar mengenai pertimbangan hukum majelis hakim, karena mengaku belum menerima salinan putusan lengkap.
Akan tetapi, menurutnya, pihaknya mempunyai beberapa opsi apakah melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung atau melayangkan gugatan baru baik secara perdata maupun gugatan perselisihan hak melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
"Kita akan usahakan secara hukum, supaya klien kita mendapatkan haknya. Kita menyiapkan beberapa opsi [upaya hukum], setelah kita mempelajari salinan putusan," ujarnya saat dihubungi Bisnis, kemarin.
Adapun, kuasa hukum termohon pailit Denny Azani menyambut positif putusan tersebut. Dia juga menambahkan bahwa pihaknya siap menghadapi jika para pemohon pailit mengajukan upaya hukum kasasi atas putusan itu, ataupun menghadapi gugatan baru yang diajukan para pemohon, misalnya gugatan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Permasalahan antara kedua pihak berawal ketika ada kesepakatan lisan antara pemohon dan termohon pailit, untuk menjalin kerja sama mengembangkan kuasa pertambangan (KP) batu bara-atas nama Kertawira Seralestari di Tamiang Layang, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah.
Pengurusan izin
Dalam kerja sama itu, pemohon pailit antara lain bertugas untuk melaksanakan setiap tugas yang terkait dengan pengurusan izin KP eksplorasi, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan eksplorasi, menyeleksi, dan melakukan negosiasi.
Selain itu menunjuk kontraktor pelaksana pekerjaan eksplorasi, membuat laporan pelaksanaan kegiatan eksplorasi, membuat pola dan sistem kerja sama.
Para pemohon pailit mengaku kerja sama yang berlangsung antara kedua pihak telah dilaksanakan sejak pertengahan 2004 dan diakhiri pada Juli 2008, seiring dengan pengunduran diri Tojib Iskandar selaku kepala kantor cabang Kertawira Seralestari di Tamiang Layang.
Menurut pemohon, selama kerja sama mereka menalangi terlebih dahulu biaya operasional di lapangan, yang nantinya akan ditagih kepada termohon pailit setiap bulannya. Biaya operasional menelan Rp16 juta per bulan, yang dialokasikan antara lain untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan bahan bakar.
Termohon pailit, menurut pemohon pailit, secara rutin mengirimkan biaya operasional bulanan ke rekening pemohon pailit sampai dengan Agustus 2005. Adapun pengiriman untuk September 2005 sudah mulai tersendat dan baru dibayarkan pada Oktober 2005. (elvani.harifaningsih@bisnis.co.id)
Oleh Elvani Harifaningsih
Bisnis Indonesia
Yang saya kenal dan tahu persis nama2 orang dalam berita ini hanya Ahmad Syauqi Yahya. Ybs pernah sebagai Kepala Laboratorium di PT. Sekayu Int pada Land Preparation Transmigration Project di WPP VII Sanggau dan WPP XVIII Sintang.
BalasHapus