Pakta Antisuap dan Pembobolan Bank 'Pelat Merah'
Dua pekan terakhir ini setidaknya ada dua isu hangat yang mencuat dan menjadi berita utama di berbagai media massa nasional. Pertama, berita tentang penandatanganan ''pakta antisuap'' yang digagas oleh kalangan dunia usaha dalam negeri yang dimotori oleh Kadin Indonesia. Kedua, berita tentang pembobolan ''bank pelat'' merah senilai 1,7 triliun rupiah.
Dua isu ini sangat relevan sekali apabila dilihat dari kacamata penerapan Good Corporate Governance (GCG). Bagaimana tidak? Gagasan pakta antisuap telah menimbulkan polemik di media massa antara Kementerian BUMN dan Kadin Indonesia. Uniknya dua lembaga ini sama-sama menyandarkan argumentasinya tentang setuju-tidaknya terhadap penandatanganan pakta antisuap pada praktik GCG! Terlepas apakah telah terjadi miskomunikasi antara dua lembaga penting ini atau tidak, dari polemik tersebut dapat kita tangkap belum adanya kesamaan paham tentang penerapan GCG di antara dua komponen bangsa ini: pemerintah yang diwakili Kementerian BUMN dan sektor korporasi yang diwakili Kadin Indonesia.
Bersamaan dengan itu, ada kaitannya atau tidak, kondisi ini semakin diperparah oleh terungkapnya kasus pembobolan sebuah bank pelat merah --di mana pemerintah memiliki sekitar 99 persen sahamnya-- melalui pencairan L/C fiktif senilai Rp 1,7 triliun. Sesuatu hal yang semestinya tidak perlu terjadi apabila suatu bank menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential principles), internal control, risk management, dan etika bisnis secara integral dan terpadu --pendeknya menerapkan GCG.
Harus diakui penandatanganan pakta antisuap lebih bersifat gerakan moral. Tidak ada jaminan apakah cara ini secara empirik memiliki efektifitas yang substansial untuk mengeliminasi --atau setidaknya mereduksi-- praktik suap dan korupsi. Namun sebagai sebuah komitmen dan tekad, gagasan ini patut dihargai dan didukung. Bagaimanapun juga praktik suap dan korupsi dapat dilihat dari dua sisi: penawaran (supply) dan permintaan (demand). Baik pemerintah maupun sektor korporasi berada dalam dua relasi ini. Apabila suap diibaratkan suatu bentuk "komoditas atau barang", akan ada demand dan supply suap. Umumnya, supply suap datang dari sektor korporasi dan masyarakat, sedangkan demand suap datang dari pemerintah yang memiliki otoritas memperjualbelikan kekuasaannya. Gagasan pakta antisuap merupakan upaya mereduksi praktik suap dan korupsi dengan memotong supply suap. Pertanyaannya, apakah cukup hanya dengan memotong jalur supply saja? Bagaimana dengan demand suap?
Seperti halnya gagasan pakta antisuap, GCG pun berada pada posisi yang sama, yaitu ''alat'' yang berfungsi memotong jalur supply. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam GCG, seperti: kesetaraan (fairness), transparansi, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban, perlu diartikulasikan dalam sistem yang konkret dan applicable. Beberapa implementasi prinsip-prinsip GCG tersebut adalah internal control system (sistem pengawasan internal), risk management (pengelolaan risiko), dan etika bisnis yang dituangkan dalam corporate code of conduct (pedoman perilaku perusahaan).
Khusus mengenai sistem pengawasan internal, best practices telah memperkenalkan paradigma baru pengawasan internal yang sangat berbeda dengan konsep pengawasan tradisional. Dalam konsep pengawasan tradisional fokus utama pengawasan internal adalah menemukan kesalahan manajemen sebanyak mungkin karena keberhasilan "pemeriksaan" hanya dilihat dari aspek kuantitas temuan oleh pihak internal auditor. Berbeda dengan konsep tradisional, paradigma baru pengawasan internal mengacu pada dua hal pokok, yaitu: Pertama, pemeriksaan dan konsultasi (assurance and consulting). Kedua, efektifitas pengelolaan risiko melalui risk based auditing, kontrol dan governance processes.
Dengan dimasukkannya assurance dan consulting menunjukkan semakin meluasnya praktik yang menjadi lingkup pengawasan internal. Konsep assurance services lebih luas daripada istilah "pemeriksaan" sebagaimana konsep pengawasan tradisional, sedangkan consulting services merupakan nilai tambah di mana tanpa mengurangi makna konsep pengawasan tradisional, internal auditor dapat lebih meningkatkan pelayanannya kepada organisasi secara menyeluruh. Dengan demikian ukuran keberhasilan internal auditor bukan dari jumlah temuan melainkan dari ukuran sejauh mana internal auditor dapat membantu rekan sekerjanya mengatasi permasalahan yang timbul. Termasuk dalam hal ini adalah aspek pengelolaan risiko, kontrol dan governance processes yang menunjukkan melalui pelaksanaan GCG fungsi kontrol dan pengawasan pada akhirnya akan membantu menangani masalah risiko. Risiko yang dimaksud di sini salah satunya adalah praktik suap dan korupsi yang merugikan perusahaan.
Dari uraian tersebut, seyogyanya praktik GCG dapat dijadikan alat untuk mengidentifikasi dan mengantisipasi potensi kerugian yang kemungkinan menimpa perusahaan sebagai akibat praktik suap dan korupsi. Bayangkan betapa bermanfaatnya uang sejumlah 1,7 triliun rupiah apabila digunakan untuk pembangunan infrastruktur di negeri ini dan membantu saudara-saudara kita yang terkena bencana alam yang melanda negeri kita akhir-akhir ini. Wallahualam.
Eddie M Gunadi
( Sumber Internet)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar