Senin, 16 Februari 2009

SEJARAH SINGKAT PERSELISIHAN INDUSTRIAL DAN PERANAN PEGAWAI PERANTARA

Oleh : Drs. Mohd Syaufi Syamsudin, SH, MH
Pengakuan pemerintah Hindia Belanda, bahwa penghidupan perekonomian perlu diatur secara baik, membuka jalan bagi pemerintah untuk membuat undang-undang sosial guna melindungi kelas pekerja yang berada dalam keadaan sosial ekonomis yang lemah. Dengan alasan itu pula kemudian melalui sejarah yang panjang, Pemerintah mengadakan sejumlah besar lembaga-lembaga baru yang diberi tugas dibidang ketenagakerjaan seperti : penilik kerja, yang diberi kewajiban mempertahankan dan menjalankan Undang-undang perburuhan, Dewan-dewan kerja, yang mengurus pelaksanaan undang-undang pertanggungan, perantara-perantara negara, yang memberikan perantaraan untuk melancarkan perundingan secara damai dan menghindarkan pertikaian mengenai hubungan kerja, kantor-kantor penempatan tenagak kotapraja. Sejak tahun 1940 Biro perantaraan kerja negara dengan biro-biro perantaraan kerja daerah yang dibentuk dengan tugas mengatur pemberian kesempatan bekerja dan mencegah kemungkinan pemutusan hubungan kerja yang tidak beralasan.
Dimulai dengan stbl. 1837 Nomor 801 yang memberikan kewenangan kepada Menteri sosial dan Lembaga Perantara Negara (College van Pijksbemddelaars) untuk menyatakan bahwa suatu perjanjian kerja bersama yang berlaku untuk sebagaian besar pekerja disuatu perusahaa yang berskala nasional, dinyatakan berlaku nasional mengikat secara umum bagi seluruh perusahaan lainnya secara nasional atau dalam suatu daerah.
Stbl. 1925 Nomor F 214 memberikan peluang campur tangan pemerintah yang lebih jauh dalam mengatur syarat-syarat perburuhan dan pembatasan-pembatasan kebebasan membuat perjanjian yang lebih keras. Ketentuan itu memberikan kekuasaan pada Colleg van Pijksbemddelaars, untuk menetapkan secara mengikat, peraturan-peraturan mengenai upah dan lain-lain syarat-syarat perburuhan, baik atas permintaan organisasi pengusaha maupun pekerja, ataupun tidak. Perjanjian kerja bersama yang baru dan perubahan-perubahan dari peraturan yang ada, harus disetujuai oleh college itu .
Ketentuan tersebut kemudian menjadi dasar dilakukannya pembetukan lembaga penyelesaian administrasi pada sektor-sektor tertentu. Penyelesaian sengketa administrasi pada jaman Hindia Belanda pada sektor-sektor tertentu tersebut ditempuh dengan jalan penyerahan suatu macam perkara tertentu kepada badan tersendiri yang dibentuk secara istimewa. Kewajiban ini kemudian diperkuat lagi dengan keluarnya putusan pentingdari Hoge Road Belanda (Ostermann-arrest) pada tahun 1924, yang menetapkan bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas segala perbuatan alat-lata perlengkapannya, tidak hanya yang melanggar hukum perdata melainkan juga yang melanggar Hukum Publik.
Pengadilan Perdata diperbolehkan memasuki lapangan Peradilan Tata Usata Negara, tetapi terbatas pada masalah pelanggaran hukum dan tidak meliputi masalah kebijakanaan Pemerintah (regelengsbeleid).
Sebelum adanya arrest (1924) dimaksud, di sektor tenaga kerja dengan semakin berkembangnya masalah hubungan industrial, ikut campur negara juga semakin besar. Hal ini mendorong pemerintah Hindia Belanda mengartur secara tersendiri penyelesaian masalah hubungan industrial dalam peraturan khusus dan ditangani oleh instansi tersendiri pula. Pemberian wewenang kepada instansi khusus yang berhak mengadakan penyelesaian masalah perburuhan tersebut, dilakukan dengan maksud agara masalah hubungan industrial dapat diselesaikan secara adil, cepat dan dengan biaya yang relatif murah.
Berdasarkan Stbl.1847 Nomor 23 jo. Stbl 1848 Nomor 57, di dalam pasal 116 ditentukan adanya wewenang Residestie Rehcter untuk mengadili tuntutan-tuntutan yang berhubungan dengan suatu perjanjian kerja (arbeidsovereenkomst). Stbl 1937 Nomor 624, mengatur tentang adanya Dewan Perdamaian untuk kereta api dan trem, yang anggotanya ditunjuk oleh Gubernur Jenderal/\. dewan ini bertugas memberikan perantaraan, jika didalam perusahaan kereta api dan trem timbul atau dikhawatirkan akan timbul perselisihan perburuhan. Stbl 1939 nomor 407, kemudian diubah dengan Stbl. 1948 nomor 238, peraturan tentang usaha untuk mengadakan penyelesaian dalam hal timbul perselisihan perbutuhan yang membahayakan.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, terlihat dengan jelas bahwa masalah penyelesaian perselisihan perburuhan sejak jaman Pemerintahan Hindia Belanda telah dilakuka oleh suatu Badan/ Dewan tersendiri.
Pengaturan pemberian kewenangan penyelesaian secara khusus diluar peradilan umum di bidang ketenagakerjaan tersebut telah mulai diadakan sejak tahun 1847 dengan dikeluarkannya beberapa peraturan yaitu : Stbl.1847 No. 23 jo Stbl.1848 No. 57, Stbl. 628, Stbl 1939 No. 407 diubah dengan Stbl 1948 No. 238, dan Regeling Ontslagrecht Stb. 1941 No. 396. Kebijaksanaan yang telah dimulai sejak masa Hindia Belanda mengenai penyelesaian khusus dibidang hubungan industrial ini, pada masa kemerdekaan diteruskan, bahkan sampai sekarang.
Setelah kemerdekaan tercatat beberapa peraturan perundangan yang mengatur mengenai penyelesaian perselisihan industrial dan PHK. Diantaranya adalah seperti berikut ini :
a. Instruksi Menteri Nomor : P.B.U. 1022-45/U-4091 tahun 1950.
Agar supaya terdapat kerjasama yang baik antara aparat dilingkungan kementerian perburuhan dalam hal penyelesaian perburuhan pada tanggal 20 Oktober 1950 dikeluarkan Insruksi Menteri Perburuan Nomor : P.B.U. 1022-45/U-4091 tentang tata cara penyelesaian perselisihan perburuhan.
Dalam Instruksi Menteri Perburuhan tersebut dibedakan antara perselisihan perburuhan yang bersifat perorangan dan perselisihan perburuhan yang tidak perorangan, antara buruh perorangan dengan pengusaha tentang soal-soal yang diatur dalam Undang-undang dan Peraturan Perburuhan. Perselisihan yang tidak berakibat pemogokan, diselesaiakn oleh Kantor Daerah Jawaban Pengawasan Perburuhan.Sedang perselisihan perburuhan yang tidak bersifat perorangan antara buruh dan pengusaha tentang soal-soal yang tidak diatur dalam undang-undang dan peraturan perburuhan yang timbul dalam suatu wilayah diselelsaikan oleh :
a) Kantor-Kantor penyuluh perburuhan di Jawa kecuali Jakarta Raya, b) Kantor-Kantor urusan perselisihan Daerah Jakarta Raya, c) Kantor-Kantor penyuluh perburuhan di Sumatera, d) Kantor-Kantor penyuluh perburuhan di Kalimantan, dan e) Kantor-Kantor Daerah Pengawasan Perburuhan di indonesia Timur.
Apabila suatu perselisihan perburuhan dipadag sangat menyangkut kepentigan negara, kantor pusat urusan perselisihan di Jakarta dapat menyelesaikan perkara itu sendiri. Demikian pula apabila tempat kedudukan pihak engusaha dan pihak buruh yang berselisih tidak didalam satu wilayah yang sama atau perselisihan perburuhan tersebut meliputi buruh didalam lebih dari satu wilayah maka Kepala Kantor Urusan Perselisihan Perburuhan dapat menyelesaikan perkara itu sendiri atau menunjuk salah satu kantor dalam jajaran Kementerian Perburuhan, baik Kantor Penyuluh Perburuhan, Kantor Jawatan Pengawasan Perburuhan ataupun Kantor Daerah Urusan Perselisihan untuk menyelesaikannya.
Kantor-kantor dalam jajaran Kementerian Perburuhan yang bertugas menyelesaikan persaelisihan perburuhan tersebut melakukan penyelesaian perselisihan secara aktif yang bersifat perantara (mediasi) atau perdamaian (konsiliasi) dan atas ersetujuan tertulis dari para pihak yang berselisih dapat pula melakukan penyelesaian perselisihan perburuhan secara arbitrase. Hal ini menunjukkan bahwa pada awal kemerdekaan, penanganan perselisihan dilakukan olh berbagai instansi perburuhan sesuai dengan sifat dan kasus perselisihannya.
b) Surat Edaran Kementerian Perburuhan R.I. Nomor: PP. 3-8-14/U.3994 Tahun 1950.
Dalam menghadapi banyaknya pemutusan hubungan kerja terhadapt buruh secara besar-besaran, Kementerian Perburuhan pada tanggal 12 Oktober 1950 mengeluarkan Surat Edaran No. PP 3-8-14/U.3994, yang mengharuskan semua pengusaha yang akan mengadakan Pemutusan Hubungan Kerja secara besar-besaran yakni Pemutusan Hubungan Kerja sedikitnya 10 orang buruh dalam waktu sebulan, agar merundingkan maksud Pemutusan Hubungan Kerja tersebut terlebih dahulu dengan Kepala Kantor Penempatan Tenaga Kerja di Daerah masing-masing.
Surat edaran Kementerian Perburuhan tersebut dibarengi dengan Instruksi Kementerian Perburuhan yang menunjuk Jawatan Penempatan Tenaga Kerja sebagai instansi yang berwajib menyelesaikan Pemutusan Hubungan kerja secara besar-besaran, dengan pertimbangan bahwa PHK secara besar-besaran akan menimbulkan pengangguran dan mengganggu kebijaksaaan pemerintah dalam hal penempatan tenaga sehingga tepatlah bila jawatan penempatan tenaga yang menyelesaikan karena jawatan penempatan tenaga berfungsi untuk mengusahakan perluasan lapangan kerja.
Jikalau ternyata bahwa pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran mempunyai alasan-alasan atau dasar-dasar sosial politik dan sosial teknis, maka jawatan penempatan tenaga meminta bantuan kepada panitia penyelesaian pemberhentian buruh serentak yang terdiri dan Kepala Kantor perwakilan jawatan penempatan tenaga sebagai Ketua dan Kepala Kantor Jawatan Pengawas Perburuhan atau wakil dan Kepala Kantor Penyuluh Perburuhan atau Wakilnya sebagai anggota, sedang sekretariar penitia dipegang oleh jawatan Penempatan Tenaga.
Panitia penyelesaian pemberhentian buruh serentak menyelesaikan masalah pemutusan hubungan kerja yang terjadi di daerah sedang masalah- masalah besar dan bersifat nasional, diurus oleh Kementerian Perburuhan. Maksud dari instansi Kementerian Perburuhan tersebut ialah agar kebijaksanaan masalah perburuhan dapat dilaksanakan secara terpadu dengan melihat masalah dan segi sosial ekonomis, sosial politis dan sosial teknis.
c. Peraturan Kekuasaan Militer Pusat nomor 1 Tahun 1951
Peraturan Kekuasaan Militer Pusat Nomor 1 tahun 1951 mengatur tentang tata cara penyelesaian perselisihan perburuhan dengan jalan membentuk sebuah panitia penyelesaian pertikaian perburuhan atau disingkat Panitia Penyelesaian, yang terdiri dari beberapa instansi terkait yaitu Menteri Perburuhan sebagai Ketua, menteri Perhubungan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan dan Menteri Pekerjaan Umum masing-masing sebagai anggota.
Penyelesaian oleh industri tehnis hanya bersifat perantaraan dan hanya dapat memberikan anjuran yang tidak mengikat terhadap pihak-pihak yang berselisihan. Dengan demikian instansi tidak dapat mengeluarkan suatu keputusan dalam menyelesaikan suatu perselisihan perburuhan. Bilamana instansi beranggapan bahwa perundingan-perundingan yang dipimpinnya tidak akan membawa hasil maka instansi harus mengajukan persoalan persleisihan tersebut kepada panitia penyelesaian.
Menurut ketentuan ini, panitia penyelesaian perikaian perburuhan hanya ada di ibu kota Negara, sedang di daerah propinsi dan daerah kotapraja di bentuk instansi.
d. Undang-Undang darurat Nomor 16 tahun 1951
Peraturan Kekuasaan Militer Nomor 1 Tahun 1951 dikeluarkan dengan maksud untuk mengatasi keadaan perburuhan yang pada waktu itu dianggap sangat rawan serta membahayakan keamanan dan ketertiban umum. Pemerintah terus berusaha untuk lebih menyempurnakan tata cara penyelesaian perselisihan perburuhan agar secara maksimal dapat menciptakan suasana hubungan perburuhan yang tenang dan harmonis guna mempercepat langkah melaksanakan pembangunan bangsa dan negara. Usaha itu dilakukan dengan diundangkannya Undang-Undang Darurat Nomor 16 tahun 1951 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan, yang mencabut berlakunya Peraturan Kekuasaan Militer Pusat Nomor : 1 tahun 1951.
Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 walaun belum sempurna dan bersifat darurat, tetapi materinya lebih lengkap jika dibandingkan dengan nomor 1 tahun 1951 . dalam Undang-undang Darurat ini disebutkan dengan jelas adanya tiga lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan yaitu : Pegawai, Juru/Dewan Pemisah, dan Panitia Daerah/panitia Pusat.
Pegawai, ialah pegawai kementerian perburuhan yang ditunjuk oleh Menteri perburuhan untuk memberikan perantaraan dalam menyelesaikan persleisihan perburuhan yang dimintakan perantaraanya oleh pihak buruh dan pengusaha. Pegawai tidak berwenang mambuat suatu surat keputusan dalam mengakhiri penyelesaian perselisihan perburuhan sebab wewenang pegawai hanya terbatas memberikan perantara berupa anjuran-anjuran yang tidak mengikat baikterhadap buruh maupun pengusaha. Apabila suatu perselisihan perburuhan yang dimintakan perantaraannya oleh pihak buruh dan pengusaha kepada pegawai dan pegawai yang bersangkutan menganggap bahwa perselisihan perburuhan itu tidak dapat diselesaikan secara perantara, maka persoalan perslisihan perburuhan tersebut harus diteruskan kepada panitia daerah.
Juru/Dewan Pemisah, ialah seorang atau beberapa rang yang ditunjuk oleh pihak buruh dan pengusaha yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihannya dengan jalan arbitrase (perwasitan). Apabila pihak-pihak yang berselisih akan menyerahkan penyelesaian perselisihan perburuhan kepada juru/ dewan pemisah, maka terlebih dahulu membuat surat perjanjian didepan pegawai atau panitia daerah, sedang tata cara penunjukan atau penyelesaiannya diserahkan sepenuhnya kepada kemauan kedua belah pihak.
Panitia Daerah, ialah panitia penyelesaian perselisihan perburuhan yang dibentuk di kota-kota yang ditetapkan oleh Menteri Perburuhan Panitia Pusat, ialah panitia perselisihan perburuhan di Ibu Kota Negara.
Ada beberapa hal yang merupakan perkembangan dalam menyelesaiakan perselisihan perburuhan yang diatur di dalam Undang-Undang ini, yaitu tentang diakuinya peranan pegawai dan juru/dewan pemisah, ini merupakan perkembangan yang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya serta mengarahkan buruh dan pengusaha untuk mengadakan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan sendiri masalah-masalah perselisihan perburuhan mereka dan tidak selalu bergantung kepada ikut campur pemerintah.
Uniknya Panitia Penyelesaian Perselisihan perburuhan Pusat berhak menyerahkan suatu perkara perselisihan Perburuhan kepada menteri perburuhan untuk diselesaikan dengan jala : a) Memberi perantaraan dan b) Memberi putusan yang berupa anjuran kepada pihak-pihak yang berselisih. Jika usaha-usaha Menteri Perburuhan untuk mengadakan perantaraan tidak memberikan hasil maka berkas perkara perselisihan perburuhan tersebut diserahkan kembali kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat. e) Instruksi Menteri Perburuhan Nomor : 7632/52
Berdasarkan Instruksi Kementerian Perburuhan tertanggal 12 Oktober 1950 Nomor : PP. 3-8-14/U.3994 soal pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran semula harus dirundingkan dengan Kepala Kantor penempatan tenaga kerja setempat, ternyata cara penyelesaiannnya seperti itu tidak affisien dan memakan waktu lama, hal ini disebabkan jawatan penempatan tenaga tidak mempunyai hak berdasarkan undang-undang untuk mengijinkan atau melarang pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran. Dalam praktek serikat buruh selalu enentang maksud pengusaha yang akan mengadakan pemutusan hubungan kerja dan menjadikan hal tersebut menjadi perselisihan perburuhan. Sedang penyelesaian perselisihan perburuhan merupakan wewenang panitia penyelesaian perselisihan perburuhan pusat.
Pada waktu itu belum ada undang-undang yang mengatur mengenai pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran, sehingga masalah pemutusan hubungan kerja tidak diselesaikan menurut saluran-saluran hukum, akan tetapi karena pada hakekatnya pencegahan PHK merupakan suatu kebijaksanaan dari pemerintah, sehingga dapat dikatakan kebijakan itu dilakukan oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat yang terdiri dari wakil Menteri yang duduk di dalam panitia itu.
Hubungan antara Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat dengan Jawatan penempatan Tenaga tidak ada sama sekali, sedangkan antara Panitia Penyelesaian Perselisihan perburuhan Pusat dengan Kantor Penyuluh Perburuhan sudah diatur dalam undang-undang darurat.
Berdasarkan kenyataan seperti yang diuraikan diatas, mengingat alasan-alasan praktis serta ecepatan penyelesaian maka untuk menyederhanakan jalanya penyelesaian pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dikeluarkan Instruksi Menteri Perburuhan nomor 7632/52, yang menginstruksikan agar mulai tanggal 1 September 1952 urusan penyelesaian pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran, penanganannya sejak dari awal ditugaskan kepada Kantor penyulu Perburuhan dan tidak lagi dibebankan kepada kantor penempatan tenaga, dengan pengertian bahwa instruksi kementerian bahwa instruksi kementerian perburuhan nomor : PP.3-8-14/U.3994 tahun 1950 masih tetap berlaku sampai adanya perubahan terhadap Panitia Penyelesaian pemberhentian Buruh serentak.
Kantor Penyuluh Perburuhan dalam menangani masalah-masalah pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran yang menyangkut sosial ekonomis dan sosial teknis agar meninta bantuan kepada Jawatan Penempatan Tenaga Kerja Jawatan Penempatan Tenaga Kerja dan jawatan Pengawas Perburuhan dan agar mengadakan pendekatan dengan serikat buruh yang bersangkutan.
f. Undang-Undang Nomor : 22 tahun 1957
Undang-Undnag ini menggantikan Undang-undnag Darurat Nomor 16 Tahun 1951.
Berdasarkan pasal 1 ayat (e) Undang-undang No. 22 tahun 1957, secara tegas untuk yang pertama sekali dikenal sebutan Pegawai yang diberi tugas untuk yang pertama sekali dikenal sebutan Pegawai yang diberi tugas untuk memberikan perantaraan (Pasal 3 ayat (2). Yang dimaksud dengan Pegawai adalah Pegawai Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk memberikan perantaraan dalam perselisihan perburuhan.
Dalam pelaksanaan tugasnya Pegawai Perantara dapat bertindak sebagai Juru Penengah, Juru Pendamai, atau sebagai Juru Pemisah.
Pegawai Perantara bertindak sebagai Juru Penengah, dalam membantu pihak-pihak yang berselisih mengatasi kesulitan-kesulitan pada setiap tingkat perundingan sebelum pihak-pihak yang bersangkutan mengajukan secara resmi kepada Pegawai Perantara mengenai kegagalannya untuk berunding sendiri dan tidak mencapai kesepakatan dalam batas waktu tertentu.
Pegawai Perantara bertindak sebagai Juru Pendamai, apabila atas permintaan salah sati pihak atau pihak-pihak yang berselisih untuk memberikan perantaraan dengan jalan mempertemukan pihak yang bersangkutan serta mengupayakan agar mereka bersedia mengadakan permusyawaratan untuk mencapai mufakat yang kemudian hasilnya dituangkan kedalam suatu persetujuan bersama yang ditanda-tangani oleh pihak-pihak yang berselisih sebagai suatu pernyataan selesainya perselisihan atau PHK.
Pegawai perantara bertindak sebagai Juru Pemisah (srbiter), apabila pihak yang berselisih sepakat menunjuk Pegawai Perantara untuk menyelesaiakan perselisihan dengan syarat bahwa keputusan bersifat mengikat setelah memperoleh pengesahan dari P4-Pusat.
g. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964
Untuk yang pertama sekali pada tahun 1964 dilekuarkan undang-undang yang mengatur pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta, yaitu Undang-undnag nomor 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan kerja di perusahaan Swasta, yang mencabut Regeling Ontslagrecht voor bepaalde niet Europese Arbeiders (Staatsblad 1941 no. 396) dan peraturan-peraturan lain mengenai pemutusan hubungan kerja seperti tersebut didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1601 sampai dengan pasal 1603 oud dan pasal 1601 sampai dengan pasal 1603 yang berlawanan dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum didalam undang-undnag nomor 12 tahun 1964 tersebut.
Undang-undang ini dibuat dengan maksud hendak menyelesaikan masalah pemutusan hubungan kerja dengan proses yang cepat dan singkat, sehingga semua permohonan ijin PKH langsung diajukan kepada P4-daerah/Pusat, setelah tidak tercapai perundingan bipartit. Ketentuan ini kemudian di intervensi oleh Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor 362/67, tanggal 8 Februaru 1967. Dalam butir 9 dan 10 surat edaran dimaksud secara halus disarankan agar di dalam menyelesaikan kasus PHK memberi tahukan niatnya kepada Kantor resort Departemen Tenaga Kerja setempat.
Selengkapnya dikatakan bahwa dengan tidak mengurangi hak Pengusaha untuk memajukan permohonannya langsung kepada Panitia Daerah/Pusat, sebaiknya memberitahukan niatnya untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja kepada Kantor Ressort Departemen Tenaga Kerja yang bersangkutan. Bilamana diperlukan maka P4 Daerah/P4 Pusat dapat memberikan kuasa kepada kantor Ressort/Daerah Departemen Tenaga Kerja baik secara umum maupun secara khusus untuk mengadakan penyelidikan atas kasus tersebut. Sejak itu dalam prakteknya pegawai perantara ikut berperan dalam menyelesaikan kasus PHK, yang sebenarnya tidak memiliki dasar hukum undang-undang, tetapi sekedar diatur dalam berbagai peraturan Menteri.
Pada tahun 2000, mengawali abad ke dua puluh satu, Pegawai Perantara diakui keberadaan dan keahliannya sebagai suatu profesi dibidang hubungan industrial. Dengan Keputusan Menteri PAN Nomor 40/MEN/PAN/12/2000, tanggal 29 Desember 2000, ditetapkan bahwa jabatan Pegawai Perantara adalah jabatan fungsional.
Selanjutnya perlu kiranya diketahui pada saat ini sedang dibahas Rancangan Undang-undang tentang Penyeesaian Perselisihan hubungan Industrial, yang sudah hampir segera diundangkan. Dalam undang-undang ini jenis perselisihan hubungan industrial meliputi : a) hak, b) kepentingan, c) pemutusan hubungan kerja, dan d) antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Nama pegawai (perantara) juga diganti menjadi Mediator. Yang dimaksud dengan Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri dan dipilih oleh para pihak yang berselisih untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselish untuk menyelesaiakan kepentingan dan persleisihan pemutusan hubungan kerja.
Selanjutnya berikut beberapa kutipan pasal rancangan dimaksud yang kiranya dapat dijadikan bahan dalam pertemuan kali ini.
Bagia Kedua
Penyelesaian Melalui Mediasi
Pasal 9
1. Penyelesaian perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja melalui mediasi dilakukan oleh mediator di wilayah kerja tempat pekerja/buruh bekerja.
2. Penyelesaian oleh mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada mediator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak.
3. Para pihak harus memilih nama mediator dipasang dan diumumkan pada kantor instansi Pemerintah yang bertanggung jawab dibanding ketenagakerjaan setempat.
Pasal 10
Untuk dapat diangkat sebagai Mediator harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a) beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b) warga negara Indonesia;
c) berumur sekurang-kurangnya 30 tahun;
d) menguasai Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan;
e) berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f) memiliki pengalaman penanganan masalah ketenagakerjaan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun; dan
g) syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri
Demikianlah beberapa catatan yang dapat diberikan sebagai bahan informasi. Mudah-mudahan dapat memberikan manfaat.

Sumber Internet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar