Selasa, 17 Maret 2009

Kewenangan Bidang Pertanahan Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah


Dipublikasikan pada 31 Oktober 2006 - 12:24pm | Artikel

Latar Belakang
Republik
Indonesia sebagai negara kesatuan menempatkan tanah pada kedudukan yang penting. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang dijajah selama 350 tahun oleh kolonial Belanda, menunjukkan indikasi bahwa tanah sebagai milik bangsa Indonesia telah diatur oleh bangsa lain dengan sikap dan niat yang asing bagi kita. Tanah sebagai berkah Illahi telah menjadi sumber keresahan dan penindasan. Rakyat ditindas melalui politik dan hukum pertanahan yang tidak berkeadilan, demi kemakmuran bangsa lain.

Oleh karena itu, setelah kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945,maka bangsa Indonesia mengatur sendiri tanah yang telah kita kuasai dan miliki. Akantetapi mengatur tanah yang telah dikuasai dan dimilikinya sendiri itu tidaklah mudah, walaupun telah tegas dinyatakan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3) yang merupakan landasan ideal hukum agraria Nasional yang menetapkan bahwa : “Bumi, Air, dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Atas landasan ideal ini, sesuai dengan falsafah Pancasila, bangsa Indonesia memandang tanah sebagai karunia Tuhan yang mempunyai sifat magis-religius harus dipergunakan sesuai dengan fungsinya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan dan tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat spekulasi orang atau masyarakat, karena kemerdekaan Indonesia bukanlah hasil perjuangan perorangan atau golongan melainkan perjuangan seluruh rakyat dan bangsa Indonesia.
Tanah mempunyai makna yang sangat strategis karena di dalamnya terkandung tidak saja aspek fisik akan tetapi juga aspek sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik serta pertahanan-keamanan dan aspek hukum. Secara teoritis sumber daya tanah memiliki 6 (enam) jenis nilai, yaitu: (1) nilai produksi, (2) nilai lokasi, (3) nilai lingkungan, (4) nilai sosial, dan (5) nilai politik serta (6) nilai hukum. Sumber daya tanah mempunyai nilai sempurna apabila formasi nilai tanah mencakup ke-enam jenis nilai tersebut.
ketidaksempurnaan nilai tanah akan mendorong mekanisme pengalokasian tanah secara tidak adil dan tidak merata. Golongan masyarakat yang mempunyai dan menguasai akses yang tinggi cenderung untuk memanfaatkan ketidaksempurnaan tersebut untuk kepentingannya semata. Untuk itu peranan pemerintah di dalam mengelola sumber daya tanah sangat diperlukan, peranan tersebut seharusnya tidak hanya terbatas pada upaya untuk menyempurnakan mekanisme yang dapat mengalokasikan sumber daya tanah, tetapi juga memerlukan suatu kelembagaan untuk mengemban fungsi di atas, agar tanah dapat dimanfaatkan secara lebih sejahtera, adil dan merata.
Yang dimaksud pengelolaan tanah disini adalah suatu proses pembuatan dan
pelaksanaan keputusan bagaimana tanah dan sumber dayanya didistribusikan,
digunakan dan dilindungi dalam masyarakat. Proses pengelolaan tanah dapat dilihat dari bermacam-macam perspektif, yang terutama dari sudut pandang ekonomi dan Page 2 of 4 lingkungan. Dari sudut pandang lingkungan pengelolaan tanah jangan sampai merusak kondisi kemampuan tanahnya serta kelestarian lingkungan, sedangkan dari sudut pandang ekonomi pengelolaan tanah adalah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat melalui penggunaan dan pemanfaatan tanah serta sumber dayanya.
Pengelolaan tanah di
Indonesia mempunyai landasan konstitusional yang merupakan arah dan kebijakan pengelolaan tanah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Bumi, air dan ruang angkasa yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau dikenal juga sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang memuat kebijakan pertanahan nasional (National Land Policy) yang menjadi dasar pengelolaan tanah di Indonesia.
Dalam penyelenggaraan pengelolaan tanah khususnya yang berkaitan dengan
pengelolaan penguasaan dan hak-Hak Atas Tanah (Land tenure and land rights)
diperlukan lembaga pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian hukum antara pemegang hak dengan tanah, peralihan hak tanah, hak tanggungan atas tanah, peralihan hak tanggungan. Selain itu pendaftaran tanah merupakan sumber informasi untuk membuat keputusan dalam pengelolaan pertanahan baik dalam penataan penguasaaan, pemlikan, penggunaaan dan pemanfaatan tanah.
Sampai saat ini UUPA masih merupakan landasan hukum untuk menyelenggarakan pengelolaan pertanahan di
Indonesia. Perubahan penyelenggaraan pengelolaan pertanahan tanpa melakukan perubahan kebijakan nasional pertanahan akan mengandung implikasi hukum yang dapat menyebabkan cacatnya produk hukum yang berkaitan dengan Hak Atas Tanah dan pendaftarannya.
Kewenangan Bidang Pertanahan Dengan berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan, yaitu dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional. Sejalan dengan perubahan sistem pemerintahan tersebut, maka diperlukan adanya pembagian kewenangan yang jelas antara Pemerintah, Daerah

Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota (Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999).

Berpijak dari pengelolaan tanah dan sumber dayanya yang diatur dalam UUPA, maka
pembagian kewenangan bidang pertanahan diusulkan sebagai berikut:
1. Pemerintah
Kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan sebagaimana yang telah diamanatkan
dalam Undang-Undang dimaksud meliputi urusan-urusan yang tercantum dalam
Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan Pasal 14 ayat (1) serta Pasal 19 ayat (1),
ayat (2), ayat (3) yang meliputi:
a. Penyelenggaraan Pengaturan Penguasaan dan Pemilikan Tanah;
b. Penyelenggaraan Penatagunaan Tanah Nasional;
c. Penyelenggaraan Pengaturan dan Pemberian Hak-hak Atas Tanah;
Page 3 of 4
d. Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah;
e. Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat.
2. Pemerintah Daerah Propinsi
Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom meliputi:
a. Perencanaan Penatagunaan Tanah Propinsi;
b. Perencanaan Penatagunaan Tanah yang meliputi 2 (dua) Kabupaten/Kota atau
lebih;
c. Perencanaan Penatagunaan Tanah daerah Kabupaten/Kota yang mempunyai
pengaruh terhadap Kabupaten/Kota disekelilingnya;
d. Penyelesaian dan Penetapan Hak Ulayat yang meliputi 2 (dua) Kabupaten/Kota
atau lebih.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Kewenangan daerah Kabupaten/Kota, meliputi:
a. Izin Lokasi, Pengaturan Persediaan dan Peruntukan Tanah;
b. Penyelesaian masalah sengketa tanah garapan di atas tanah negara;
c. Penguasaan pendudukan tanah tanpa ijin dari pihak yang berwenang oleh pihak
yang tidak berhak/kuasanya;
d. Penyelesaian ganti rugi dan santunan dalam pengadaan tanah;
e. Penyelesaian dan penetapan hak ulayat masyarakat hukum adat;
f. Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
g. Penyelesaian dan pemanfaatan sementara tanah kosong;
h. Pengaturan tanah reklamasi dan tanah timbul;
i. Rekomendasi obyek, subyek, redistribusi tanah obyek landreform;
j. Penetapan penyelenggaraan bagi hasil (tanah pertanian);
k. Penetapan harga dasar tanah;
l. Penetapan kawasan siap bangun (Kasiba).
4. Kewenangan Di Bidang Pertanahan untuk Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota
Kewenangan di bidang Pertanahan untuk Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
didasarkan kepada beberapa alasan antara lain:
a. Prof. Bhenyamin Hoesein, dalam “Diskusi Terfokus Pengembangan Kebijakan
Pertanahan Dalam Era Desentralisasi dan Peningkatan Pertanahan Kepada
Masyarakat” yang diselenggarakan oleh Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
BAPPENAS tanggal 12 September 2002 menyatakan bahwa: Dalam Pasal 1 butir
e dan a UU No. 22 Tahun 1999 desentralisasi sebagai penyerahan wewenang
pemerintah oleh Pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka NKRI,
mengandung dua makna yang signifikan antara lain:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar